Selamat Datang

Senin, 13 Mei 2013



SEJARAH TEKNOLOGI PENDIDIKAN
I.          PENDAHULUAN
Teknologi pembelajaran merupakan studi untuk memfasilitasi proses belajar mengajar dalam meningkatkan kinerja melalui penciptaan,pengembangan,pengelolaan dan penilaian proses  sumber untuk belajar. Perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam lingkup teknologi pembelajaran tentungya tidak terlepas dari sejarah asal mula lahirnya teknologi pembelajaran. Konsep teknologi  pembelajaran bukanlah suatu hal yang baru dalam dunia pendidikan, konsep yang mendasari  teknologi pembelajaran telah bekembang  berabad-abad lamanya dari hasil pemikiran dan konsep-konsep pengajaran sebelumnya.
 Seiring dengan perjalanan  sejarah perkembangan Teknologi pembelajaran,banyak pendapat dan kejadian sejarah yang mendasari awal perkembangan Teknologi Pembelajaran, terutama yang berkaitan dengan perkembangan instruksional. Untuk itu penulis mencoba sedikit menguraikan kembali  hal-hal  yang berkaitan dengan sejarah perkembangan Teknologi intruksional . Penulis menguraikan perkembangan teknologi pembelajaran  dimulai dari tinjauan historis lahirnya teknologi pembelajaran,sejarah perkembangan instruksional,sejarah desain  dan  media pembelajaran.  karena hal- hal  tersebut telah ikut mewarnai lingkup perkembangan sepanjang perjalanan perubahan teknologi pembelajaran  dari waktu lampau hingga sekarang.
 Namun,  perkembangan menjadi  sangat singkat jika dihitung bagaimana jabatan dan pola pikir telah dibawa bersama sama untuk terciptanya bidang galian dari teknologi pendidikan, peserta didik dari teknologi pendidikan sepanjang tahun 1960 pada umumnya mengikuti salah satu dari dua jalur berikut yaitu pendekatan Audio Visual atau belajar terprogram yang masing masing telah dihubungkan dengan sejumlah kerangka konseptual yang sesuai dengan tujuan pendidikan mereka. Gerakan terbentuknya teknologi pendidikan dimulai dari proses pendidikan di lembaga keluarga, agama dan sekolah pada masyarakat eropa (kemudian juga Amerika Serikat) yang bertransisi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri awal. Sejarah teknologi  pembelajaran sangat perlu diketahui seseorang untuk menjadi seorang yang ahli dalam bidang  pembelajaran dan teknologi. Karena untuk menjadi ahli dalam bidang tertentu harus mampu memiliki pengetahuan tentang perkembangan sejarah dalam bidang bersangkutan.
                                                                                                                                                       II.            PEMBAHASAN
A.    SEJARAH  LAHIRNYA TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Konsep teknologi pembelajaran bukanlah gejala baru di dalam dunia pendidikan dan      latihan. Namun, sebenarnya konsep yang mendasarinya telah berkembang sangat lama sekali. Sejarah perkembangan Teknologi Pembelajaran ,beberapa para ahli menyebut dan  menjelaskan perkembangannya  ke dalam beberapa masa sejarah, diantaranya :
1.      Metode kaum sofi
Perkembangan dari berbagai sejarah merupakan tanda dari lahirnya teknologi pembelajaran yang di kenal saat ini.sekalipun dari latar belakang sejarahnya,metode pengajaran tidak didasarkan atas ilmu pengetahuan seperti yang kita ketahui,dalam metode pengajaran terkandung konsep- konsep yang mempengaruhi cara berpikir,bertindak,penelitian dan pengembangan yang kemudian di kenal sebagai teknologi pembelajaran. 
Beberapa pendidik pada masa lampau, yaitu golongan Sofi di Yunani, para ahli pendidikan memandang menduga kaum Sofi merupakan kaum teknologi pengajaran yang pertama. Mereka menyampaikan pelajaran dengan berbagai cara dan teknik . mula mula mereka menyampaikan bahan pelajaran yang telah disampaikan secara matang, kemudian mereka melanjutkan dengan perdebatan yang dilakukan dengan secara bebas, pada saat itulah proses kegiatan belajar itu berlangsung. Kemudian jika ada minat dari mayarakat untuk belajar, akan dibuat kontrak dan untuk kemudian menjadi sistem tutor. Pandangan ajaran kaum Sofi didasarkan atas;
1.         Bahwa manusia itu berkembang secara evolusi. Seorang dapat berkembang dengan teratur tahap demi tahap menuju kepada peradaban yang lebih tinggi. Melalui teknologilah permbeelajaran dapat diarahkan secara efektif.
2.       Bahwa proses evaluasi itu berlagsung terus, terutama aspk-aspek moral dan  hukum.
3.      Sejarah dipandang sebagai gerak perkembangan yang bersifat evousi dan berkelanjutan.di dalam pengelolaan periswa kemanusiaan di alam raya.
4.      Demokrasi dan persamaan sebagai sikap masyarakat merupakan kaidah umum.
5.      Bahwa asas teori pengetahuan bersifat progresif, pragmatis, empiris dan behavioristik.
Gagasan kaum Sofi ini cukup banyak mempengaruhi kurikulum di Eropa, misalnya penggunaan retorika, dialektika, dan gramar sebagai materi utama dalam quadrivium dan trivium. Sumbangan lain dari konsep- konsep kaum sofi  berkenaan dengan pemecahan masalah ilmu pengetahuan danseni yang digabungkan menjadi techne atau teknologi.
2.      Metode Socrates
Bentuk pengajaran lebih ke dalam bentuk berfilafat,tujuan filsafatnya ialah mencari kebenaran yang berlaku mutlak. Socrates berpendapat bahwa kebenaran itu tetap -harus dicari,mencari kebenaran itu dilakukan melalui tanya jawab. Metode yang -dipakainya disebut dengan Maieutik atau menguraikan, yang sekarang dikenal dengan nama metoda inkuiri atau penyelidikan. Pelaksanaannya berlangsung dengan cara give and take of conversation. Metode Socrates  dapat diaplikasikan kepada suatu mata pelajaran tertentu,dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan terarah sehingga siswa akan sampai kepada jawaban yang benar,atau siswa bisa mempertunjukkan suatu teori yang belum pernah dipelajari sebelumnya. Pada dasarnya Socrates mengajarkan tentang mencari pengertian, yaitu suatu bentuk tetap dari sesuatu.
3.      Metode Abelard.
Metode Abelard ini berlangsung pada masa pemerintahan Karel Agung di Eropa. Metoda yang di pakai bertujuan untuk membentuk kelmpok pro dan kontra terhadap  suatu materi. Guru tidak memberikan jawaban final tetapi siswalah yang akan -menyimpulkan dan merumuskan jawaban itu sendiri. Metoda ini biasa disebut dengan ‘ Sic et Non’ atau ya atau tidak. Aberard berasumsi bahwa setiap materi atau konsep bisa diuji oleh siswanya dalam upaya mencari pengertian,penyelidikan,serta mutunya.
4.      Metode Johann Amos Comenius.
Sebagai seorang Ceko kelahiran Moravia, Comenius mengalami masa jelek dalam belajar disekolahnya,cara penyampaian materi oleh guru kurang baik,guru marah- marah saat mengajar, guru mengajar tanpa persiapan dan tidak mempergunakan metode yang baik. Oleh karena hal yang dialaminya itu, kemudian Comenius menetap di Lissa, Polandia.ia bertugas menjadi seorang guru dan ia juga meuliskan karya tentang  Orbis Pictus (dunia dalam gambar),ini merupakan karyanya yang paling baik yang merupakan aplikasi metode yang ditujukan kepada anak-anak dalam mempelajari bahasa dan sains. Dalam pendidikan dan pengajaran comenius mencontohkan kepada alam semesta (makrokomos) yang selalu berjalan secara tertip menurut aturan tertentu. Manusia dianggap sebagai alam kecil (mikrokosmos)  harus menyesuaikan diri dengan makrokosmos atau alam semesta. Comenius telah meletakkan dasar-dasar pemahaman yang sistematis dalam proses belajar mengajar dan mengantisipasikan nya secara meluas ke arah konsepsi modern dari teknologi pengajaran.
5.      Metoda Joseph Lancaster
 Sistem  pengajaran yang unik, meliputi pengorganisasian kelas, materi pelajaran sesuai dengan rencanannya yang meningkat dan dikelola secara ekonomis. Lancaster mempelajari konstruksi kelas khusus yang dapat mendayagunakan secara efektif penggunaan media pengajaran dan pengelompokan siswa. Dalam sistem pengajaran Lacaster, pemakaian media pengajaran masih sederhana. Seperti penggunaan pasir dalam melatih siswa menulis. Selanjutnya teks yang berasal dari buku teks di tulisdengan huruf besar- besar,lalu dipasang di tembok agar seluluh siswa dapat membacanya.
6.      Metoda Johann Heinrich Pestalozzi.
Pengamatan pada alam merupakan landasan utama dari proses didaktiknya. Pengetahuan bermula dari adanya pengamatan , dan pengamatan menimbulkan pengertian. Selanjutnya pengertian yang baru itu menimbulkan pengertian,yang selanjutnya pengertian tersebut bergabung dengan yang lama untuk menjadi sebuah pengetahuan. Dan dapat dikatakan bahwa perintisan ke arah pendayagunaan perangkat keras atau hardware sebenarnya telah dimulai pada masa Pestazoli ini, seperti penciptaan papan aritmatik yang terbagi dalam kotak kotak yang di setiap kotaknya diberi garis-garis yang secara keseluruhan berjumlah 100 kotak kecil. Selain itu Pestalozi juga menciptakan stylabaries untuk melatih siswanya dalam mempelajri angka, bentuk, posisi dan warna desain.
7.      Metoda Friedrich W. Froebel.
Metode Froebel didasarkan kepada metodologi dan pandangan filsafafnya yang intinya mengatakan bahwa pendidikan masa kanak kanak merupakan hal paling penting untuk keseluruhan kehidupnnya. Karena itulah Froebel mendirikan Kindergarten atau yang lebih dikenal dengan Taman Kanak – kanak.Metode pengajaran Kindergasten dari Froebel meliputi kegiatan-kegiatan berikut:
a.    Bermain dan bernyanyi
b.    Membentuk dengan melakukan kegiatan- kegiatan.
c.    Grift dan Occupation yang merupakan serangkaian materi pengajaran dalam dua macam bentuk, yaitu memberikan gagasan (gift) kepada anak-anak dan memberikan kegiatan (occupaion).kesatuan dari sejumlah besar
8.      Metoda Friedrich Herbart.
Pada praktek pendidikan Herbart terlihat adanya pengaruh Freobert terutama pada aspek pengembangan moral sebagai tujuan utama pendidikan. Metoda instruksionalnya didasarkan kepada ilmu jiwa yang sistematis. Teori Herbart membawa implikasi kepada guru yang tugas utamanya dalam mengajar harus  membentuk apersepsi dengan cara menyampaikan mata- mata pelajaran dengan urutan gagasan yang benar. Dengan demikian siswa secara pikologis dibentuk oleh gagasan yang datang dari luar.
B.     SEJARAH PERKEMBANGAN INSTRUKSIONAL
Pengembangan instruksional diterapkan dengan sistem pendekatan yang menerapkan prinsip- prinsip ilmiah yang didasarkan pada perencanaan,desain pembuatan,pelaksanaan dan evaluasi instruksi yang efektif dan efisien,berikut adalah penjabarannya:
1.     Sebelum tahun 1920, lahirnya pengetahuan empiris dasar pendidikan
Salah satu ide- ide dasar yang mendukung pengembangan instruksional adalah ide desain instruksioanal,yaitu gagasan dari prinsip- prinsip empiris dapat diterapkan untuk menghasilkan instruksi yang efektif. Sekolah diarahkan pada tradisional dan tidak dibebani olae pemeriksaann hasil yang sistematis. Kontribusi yang tercatat penting dalam pergeseran konsep instruksi yaitu karya EL Thorndike di Universitas Columbia yang paling berpengaruh (Baker,1973; Saettler,1968) khususnya penting dalam bidang pengembangan intruksional.Sedangkan rincian dari teori Thorndike tidak berdampak pada instruksional desain dewasa ini,yang di sebut “gambaran besar” apa yang telah ia lakukan menandai banyaknya prinsip ID. Selain  Thorndike sebagai sosok awal dalam upaya membangun dasar pengetahuan manusia. Ada dua poin yang patut dicatat,pertama: thorndike menemukan hukum minat dan advokasi keahlian sosial,gagasan insruksional harus mengikuti prespesifid tujuan sosial yang berguna. Kedua: Thorndike adalah seorang shli dalam pengukuran pendidikan,alat penelitrian dan bidangnya merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan pendidikan sebagai suatu ilmu(Snelbekker,1974). Ide-idenya yang mendasar memungkinkan untuk pengembangan ID (instructional desain).
2.    Tahun 1920-an: Tujuan
Bobbitt (1918),sekolah harus memberikan pengalaman khusus yang terkait dengan kegiatan sesuai dengan tuntutan masyarakat.selain itu ia berpikir bahwa tujuan sekolah berasal dari analisis ketrampilan objektif yang diperlukan untuk hidup sukses. Asumsi Bobbitt,Thorndike dan lainnya,kurikulum merupakan hal yang aktual dan intruksilah yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip tujuan driven-learning,hal ini dikenal sebagai instruksi invidual.Perencanaan tidak hanya diarahkan pada keteladanan, instruksional, koreksi workbook,tetapi juga diarahkan pada diagnostik dan tes administrasi yang dapat digunakan untuk menentukan apakah siswa siap untuk pengujian oleh guru. Setelah mengikuti tes yang diberikan oleh guru,berikutnya siswa diberikan tugas baru(Saettler,1968). Perencanaan Dalton,yang dikembangkan oleh Parkhurst,perencanaan tersebut diaplikasikan pada sekolah anak-anak cacat dengan tujuan meningkat mutu pendidikan. Rencana pembelajaran individual pada tahun 1920-an  ini memberikan alasan untuk pengembangan lanjutan bagi rancangan insruksional berikutnya.
3.    Tahun  1930-an: Tujuan prilaku dan evaluasi formatif
Kemajuan kearah penciptaan sistem instruksional melambat selama tahun 1930-an ini(Baker,1973:Raiser,1987). selama tahun ini Ralph W.Tyler memulai karyanya yang menbuat ia terkenal, tinjauan kerjanya yaitu dibidang evolusi pengembangan instruksional. Pengembangan instruksional dilakukan dengan alasan,pertama adalah penelitian dilakukan untuk memperbaiki prosedur tujuan instruksional. Alasan kedua adalah untuk memastikan kurikulum telah diimplementasikan sebagaimana yang telah direncanakan. Oleh karenanya,tujuan dan penilaiannya digunakan untuk merevisi demi penyempurnaan kurikulum dengan tujuan memproduksi tingkat prestasi yang sesuai. Dalam pengembangan instruksiaonal hal tersebut dianggap sebagai evaluasi formatif.
4.    Tahun 1940-an: Media instruksional,penelitian dan pengembangan
Perang dunia ke II menjadikan masalah instruksional menjadi meluas: ribuan personil militer harus dilatih dengan cepatuntuk melakukan berbagai tugas –tugas penting untuk keberlangsungan kehidupan mereka dalam upaya peperangan. Respon terhadap masalah instruksional berdampak luas pada evolusi pengembangan instruksional(Olsen dan Bass,1982: Saettler,1968). Kepedulian pemerintah terhadap kebutuhan yang mendesak untuk penciptaandan distribusi ribuan film pelatihan perang yang diadakan di wilayah pendidikan militer Amerika Serikat. Dalam upaya kebutuhan tersebut  menghasilkan film suara,  filmstrip,dan berbagai media lainnya. Banyak orang –orang di sewa untuk diberaikan pelatihan militer pada saat itu. Penalitian dalam bidanhg pelatihan militer ini merupakan contoh dari upaya yang dilakukan untuk pencapaian tujuan pendidikan. Perkembangan lainnya dari instruksional adalah munculnya peran teknologi pembelajaran selama pembuatan film pelatihan militer.
5.    Tahun 1950-an: program instruksi dan analisis tugas.
Selama tahun 1950-an ini beberapa ide yang muncul sebelumnya telah disempurnakan dan dipopulerkan. Disamping pengembangan instruksional proses analisis untuk desain instruksional tumbuh lebih canggih pada dekade ini,pada masa ini juga terjadi kemajuan dalam prosedur analisis yang penting untuk penciptaan instruksi. Istilah analisis tugas  pada awal tahun 1950-an ini, pertama kali digunakan oleh angkatan udara, untuk mengantisipasi pekertjaan yang membutuhkan peralatan baru yang sedang dikembangkan (Miller,1962). Miller merupakan tokoh awal yang mengembangkan prosedur analisis tugas yang kemudian diaplikasikan pada militer.

6.    Tahun 1960-an: Sistem pengembangan instruksional.
Pada dekade 1960-an ini bidang pengembangan instruksional berkembang begitu pesat. Sistem instruksional yang dirancang dengan tujuan mengahasilkan prestasi yang perspektif,penilaian membutuhkan tes yang dapat menafsirkan kompetensi yang dikuasai secara spesifik. Pada tahun 1960-an ini militer dengan cepat menanamkan pengembangan sistem instruksional kedalam standar prosedur pelatihan mereka. Kecendrungan yang penting lainnya,serta mempengaruhi pengembangan instruksional dimulai pada tahun 1960-an. Kalangan pemimpin instruksional pendidikan,terutama ahli media mulai aktif melobi untuk memperluas bidang media Audio Visual(AV), instruksi untuk merangkul konsep ysng lebih besar terhadap pengembangan instruksional dan teknologi   (Schuller, 1986).


7.    Tahun 1970-an: model ID dan kematangan
Tahun 1970-an adalah dekade konsolidasi,pengembangan instruksional memperoleh perlengkapan profesi sebagai ID (desain instruksional) dan praktisi berusaha mengidentifikasi serta memberi gambaran secara menyaluruh terhadap proses yang mereka anjurkan. Model ID tidak lagi hanya dimulai dengan pernyataan tujuan, proses analisis dimasukkan untukj membantu dalam menentukan apa yang menjadi tujuan dari sistem instruksional yang seharusnya. Pada tahun ini program pendidikan Pasca Sarjana berfokus pada pertumbuhan desain instruksional dan asosiasi profesional yang ada diarahkan untuk mengakomodasi bidang kegiatan baru. Departemen NEA instruksi Audio Visual menjadi Asosiasi Independen untuk Komunikasi  Pendidikan dan Teknologi, penghimpunan nasional untuk program instruksi menjadi penghimpunan nasional untuk kinerja dan instruksi. Menjelang akhir tahun 1970-an Divisi AECT  untuk pengembangan instruksional mendirikan sebuah lembaga jurnal pengembangan instruksional.
8.    Tahun 1980-an: mikrokomputer dan teknologi kinerja.
Pada tahun 1980-an ini munculnya mikrokomputer dan adopsi cepat  tehadap pengembangan sistem instruksional oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Aplikasi instruksional mikrokomputer telah mendominasi banyak literatur desain instruksional. Sebagian menganggap ini merupakan teknologi tinggi sebagai tambahan untuk desain instruksional,alat ideal untuk penelitian belajar manusia. Tahun 1980-an telah memperlihatkan pertumbuhan luar biasa dalam memanfaatkan  pengembangan instruksional oleh perusahaan-perusahaan atau agensi-agensi non lembaga sekolah lainnya. Lingkungan tersebut telah membantu memperluas pengembangan konsep sistem teknologi kinerja. Teknologi kinerja terdiri dari teknologi instruksional,namun penggabungan desain non instruksional merupakan solusi yang baik untuk masalah kinerja manusia. Perluasan dan aplikasi teknologi kinerja ini juga baik di luar bidang sekolah dan bahkan pentingnya konsep sistem ini diperluas untuk pengembangan  instruksional masa depan masih harus diperhatikan.
C.  PERKEMBANGAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Analisis sosiologis dan psikologi ilmu pengetahuan mrnunjukkan bahwa (1)timbulnya suatu ilmu pengetahuan disebabkan oleh adanya kondisi luar,kondisi objektif, kondisi matyerial masyarakat dan, (2) timbulnya suatu ilmu pengetahuan di sebabkan oleh kondisi batin, kondisi subyektif, atau kondisi psikologis dalam masyarakat. Kondisi sosiologis dan psikologis berkenaan dengan timbulnya ilmu pengetahuan tersebut terungkap pada dalam masyarakat Eropa pada akhitr abad pertengahan. Masyarakat Eropa memasuki abad modern dengan pembentukan berbagai  berbagi disiplin ilmu otonom “melepaskan diri” dari pikiran- pikiran tradisional dan pemikiran kefilsatan. Hal ini terjadi pada abad 16- 20-an serta hingga kini ( Machmurray, John.1939: 9-45; Dahler, Franz dan Chandra, Julius. 1993: 96- 98). Disiplin ilmu yang dibentuk tersebut digunakan untuk memecahkan masalah masyarakat yang objektif, dan pemecahan didasarkan atas keilmuan yang berorientasi pada kemajuan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat indonesia yang bergerak berubah menjadi masyarakat industri.
Disiplin ilmu bernama “ Teknologi Pendidikan atau Teknologi Pembelajaran ”  memiliki latar belakng sejarah yang komplek, unik dan multi dimensi. Sebagai istilah di indonesia, teknologi pendidikan merupakan terjemahan dari istilah “ Educational Technology  (ET)“ dan “ instructional technology (IT)”. Teknologi pendidikan (ET atau IT) terbentuk dalam waktu cukup lama , sesuai dengan kemajuan teknologi. Perjalanan teknologi pendidikan tersebut secara historis dapat diikuti jejaknya dari pendidikan Yng dioselenggarakan di lembaga sekolah oleh “golongan paura”  (kaum burger) yang menjadikan masyarakat industri sejak abad 16.  Pendidikan yang dilaksakan dalam masyarakat bersumber dari praktek pendidikan di  lembaga keluarga, lembaga agama, dan lembaga sekolah pada masyarakat Eropa (kemudian juga Amerika).
Secara historis menurut  Robert A, Reiser ( Gagne Robert M. 1987: 11-40) bidang yang di sebut  instructional technologi berdasarkan kemajuan peralatan audiovisual, pendekatan sistem dan individualisasi pengajaran. Berbagai penelitian, ahli dan temuan- temuan di tiga bidang tersebut memberi sumbangan pada terbentuknya ET atau IT. Pada bidang Audiovisual ditemukan seperti buku teks bergambaryang dikemukakan oleh comenius, sebagai   rintisan pengajaran. Belajar berdasarkan objek kongkrit yang dikemukakan oleh Pestalozzi, ia juga mengemukakan pentingnya jadwal belajar di sekolah. Pada saat itu alat timbul lima organisasi profesional dibidang audiovisual di Amerika Serikat, pada tahun 1920-1930-an alat-alat teknik seperti gambar hidup , slide , radio, perekam suara, diproduksi secara komersial dan menopang gerakan pengajaran visual menjadi pengajaran audiovisual yang menghabiskan dana lebih dari lima puluh miliar.
Pada tahun-tahun ini Departemen Pengajaran Visual dan  National Education Association  (yang berdiri pada tahun 1923) berganti nama menjadi Association  for Educational Communication and Technologi  (AECT ) tahun 1932 dan memimpin gerakan audiovisual. Kemudian tahun 1946 Edgar Dale mengemukakan idenya yang terkenal dengan “ Cone of Experience” . Selama gerakan perang dunia pengajaran audiovisual di sekolah melemah, tetapi alat- alat audiovisual secara meluas digunakan untuk keperluan militer dan industri. Pemerintah AS menghasilkan 457 film pelatihan industri, membeli 55.000 proyektor slide untuk pendidikan militer dan karyawan industri.  Sesudah perang dunia kedua, sekitar tahun 1950-an  telivisi memasuki kehidupan dan minat terhadap telivisi untuk pengajaran meluas. Penelitian tentang penggunaan televisi dilakukan dengan bantuan Ford Foundation sebesar lebih dari 170 million dollar. Kegiatan produksi alat-alat audiovisual oleh industri, pemggunaannya di sekolah , kepentingan militer pada saat perang, pelatihan –pelatihan industri, dan penelitian tentang penggunaan alat audiovisual  menjadikan bidang ET atau IT menjadi suatu disiplin ilmu, suatu  organisasi berjaringan luas yang meliputi dunia  industri, militer, dan perrsekolahan beroriantasi industrial yang didukung oleh organisasi profesional.
D.    SEJARAH MEDIA DAN DESAIN PEMBELAJARAN
Bidang desain instruksional dan teknologi meliputi analisis masalah belajar dan kinerja, serta desain, pengembangan, implementasi, evaluasi dan pengelolaan proses pembelajaran dan sumber daya yang dimaksudkan agar dapat meningkatkan pembelajaran dan kinerja dalam berbagai pengaturan, lembaga pendidikan khususnya dan tempat kerja. Profesional di bidang desain instruksional dan teknologi sering menggunakan prosedur desain instruksional yang sistematis dan menggunakan berbagai media pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditentukan. Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah meningkatkan perhatian yang dihadapkan untuk solusi non-instruksional terhadap beberapa masalah belajar dan kinerja. Penelitian dan teori yang terkait dengan masing-masing masalah tersebut juga merupakan bagian penting  dalam bidang desain instruksional dan teknologi.

Selama bertahun-tahun, dua praktek-penggunaan sistematis prosedur desain instruksional  dan penggunaan media untuk tujuan-instruksional telah membentuk inti dari bidang desain instruksional dan teknologi . Dari perspektif sejarah, sebagian besar praktek yang berkaitan dengan media pembelajaran telah terjadi perkembangan yang berhubungan dengan bidang desain instruksional. Oleh karena itu sejarah dari masing-masing kedua praktek tersebut,  akan dijelaskan secara terpisah. Hal ini juga harus dicatat bahwa meskipun banyak peristiwa penting dalam sejarah bidang desain instruksional dan teknologi yang  telah terjadi di negara-negara lain, penekanan  yang menjadi sumber utama bahasan sejarah yakni tentang peristiwa yang telah terjadi di Amerika Serikat.
Sejarah Media Pembelajaran
Istilah media pembelajaran telah didefinisikan sebagai sarana fisik melalui instruksi yang disajikan kepada peserta didik (Reiser & Gagnt. 1983). Berdasarkan definisi tersebut, setiap fisik  berarti pengiriman instruksional, dari instruksi hidup, buku, komputer dan sebagainya, akan diklasifikasikan sebagai media instruksional. Dalam sebagian besar sejarah media pembelajaran, tiga sarana utama instruksi sebelum abad kedua puluh dan masih merupakan cara paling umum saat ini yaitu guru, papan tulis, dan buku teks. Ketiga itu telah dikategorikan secara terpisah dari media lain (ef. Komisi Instructional Technology, 1970). Dengan demikian, media pembelajaran akan didefinisikan sebagai sarana fisik, selain guru, papan tulis, dan buku teks, melalui instruksi yang disajikan kepada peserta didik.

Museum sekolah
Di Amerika Serikat, penggunaan media untuk tujuan pembelajaran telah terditeksi kembali setidaknya sebagai awal dekade pertama abad kedua puluh (Saettler, 1990). Pada saat itu telah ada sebuah museum sekolah. Saettler (1968) telah mengindikasikan, museum ini menjabat sebagai unit administrasi pusat untuk instruksi visual dengan distribusi mereka dari pameran museum , stereograf [foto tiga-dimensi], slide, film, cetakan studi, grafik, dan bahan instruksional. Museum sekolah pertama dibuka di St Louis pada tahun 1905,yang menggelar pameran  tentang beberapa peralatan, yakni streograph, slide, film, studi cetak, grafik dan bahan pengajaran lainnya. dan tidak lama kemudian, museum sekolah dibuka di Reading, Pennsylvania, dan Cleveland, Ohio. Meskipun beberapa museum tersebut telah berdiri sejak awal 1900-an, daerah pusat terbesar media dapat dianggap modern.
Saettler (1990) juga menyatakan bahwa bahan yang disimpan di museum sekolah dipandang sebagai bahan pelengkap kurikulum. Mereka tidak dimaksudkan untuk menggantikan guru atau buku teks. Sepanjang seratus tahun terakhir, pandangan awal tentang peran media pembelajaran tetap lazim di komunitas pendidikan pada umumnya.
Artinya, banyak pendidik telah melihat media pembelajaran sebagai sarana pelengkap dalam menyajikan instruksi. Sebaliknya, guru dan buku teks umumnya dipandang sebagai sarana utama menyajikan instruksi, dan guru biasanya diberikan kewenangan untuk memutuskan  penggunaan media pembelajaran lain dan apa yang akan mereka lakukan. Selama bertahun-tahun, sejumlah profesional di bidang desain instruksional dan teknologi (misalnya, Heinich, 1970) berpendapat terhadap gagasan ini, menunjukkan bahwa
(a)    guru harus dilihat pada kedudukan yang sama dengan media instruksional, sebagai hanya salah satu dari banyak kemungkinan berarti untuk menyajikan instruksi,
(b)   guru tidak boleh diberikan otoritas tunggal untuk memutuskan media pembelajaran yang apa yang akan digunakan di ruang kelas. Namun, dalam komunitas pendidikan yang luas, pandangan ini tidak begitu disukai.

Gerakan Visual Instruksi dan Film Instruksional
Seperti Saettler (1990) telah mengindikasikan, di awal abad kedua puluh, kebanyakan media yang disimpan di museum sekolah media visual, seperti film, slide, dan foto. Jadi pada saat itu, meningkatnya minat dalam menggunakan media di sekolah itu disebut sebagai “instruksi visual” atau “pendidikan visual” gerakan. Istilah terakhir ini digunakan setidaknya 1908, ketika diterbitkan Perusahaan Tampilkan Keystone Visual Pendidikan, panduan guru untuk slide lentera dan stereograf.
Selain lentera ajaib (lentera proyektor slide) dan stereopticons (Stereograf pemirsa), yang digunakan di beberapa sekolah selama paruh kedua abad kesembilan belas (Anderson, 1962), gerakan gambar proyektor adalah salah satu perangkat media pertama digunakan di sekolah-sekolah. Di Amerika Serikat, katalog pertama film instruksional diterbitkan pada 1910. Setelah 1910, sistem sekolah publik Rochester, New York, menjadi yang pertama untuk mengadopsi film instruksional untuk penggunaan biasa. Pada tahun 1913, Thomas Edison menyatakan, “Buku akan segera menjadi usang di sekolah-sekolah …. Hal ini dimungkinkan untuk mengajar setiap cabang pengetahuan manusia dengan gerak gambar sistem sekolah kami akan benar-benar berubah dalam sepuluh tahun mendatang.” (Dikutip di Saettler,, 1968 hlm 98).
Sepuluh tahun setelah Edison membuat perkiraan-nya, apa yang ia ramalkan tidak terjadi. Namun, selama dekade ini (1914-1923), gerakan instruksi visual tidak tumbuh. Lima organisasi profesional nasional untuk instruksi visual didirikan, lima jurnal berfokus pada instruksi visual yang mulai diterbitkan, lebih dari dua puluh lembaga-lembaga pelatihan guru mulai menawarkan program dalam instruksi visual, dan setidaknya  dua belas kota besar, sekolah mengembangkan sistem biro visual pendidikan (Saettler , 1990).


Gerakan Audiovisual Instruksi dan Radio Instruksional
Diakhir tahun 1920 dan sepanjang tahun 1930-an, kemajuan teknologi di berbagai bidang seperti siaran radio, rekaman suara, dan gambar gerak suara menyebabkan meningkatnya minat dalam media pembelajaran. Dengan munculnya media yang menggabungkan suara, gerakan instruksi memperluas visual yang dikenal sebagai gerakan instruksi audiovisual (Finn, 1972; McCluskey, 1981). Namun, McCluskey (1981), yang merupakan salah satu pemimpin dalam bidang tersebut selama periode ini, menunjukkan bahwa sementara lapangan terus tumbuh, komunitas pendidikan pada umumnya tidak sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan tersebut. Dia menyatakan bahwa tahun 1930, kepentingan komersial dalam gerakan instruksi visual yang telah menginvestasikan dan kehilangan lebih dari $ 50 juta, dan hanya bagian dari kerugian itu karena Depresi Besar, yang dimulai pada tahun 1929.
Terlepas dari efek ekonomi yang merugikan akibat Depresi Besar, audiovisual dalam gerakan konstruksi terus berkembang. Menurut Saettler (1990), salah satu peristiwa paling penting dalam evolusi ini adalah penggabungan pada tahun 1932 dari tiga organisasi yang ada profesional nasional untuk instruksi visual. Sebagai hasilnya, kepemimpinan dalam gerakan itu dikonsolidasikan dalam satu organisasi, Departemen Instruksi Visual, yang pada saat itu merupakan bagian dari National Education Association. Selama bertahun-tahun, organisasi ini, yang diciptakan pada tahun 1923 dan sekarang disebut Asosiasi untuk Pendidikan Komunikasi dan Teknologi, telah mempertahankan peran kepemimpinan dalam bidang desain instruksional dan teknologi.
Selama tahun 1920-an dan 1930-an, sejumlah buku pada topik pembelajaran visual ditulis. Mungkin yang paling penting dari buku teks adalah Visualisasi Kurikulum, yang ditulis oleh Charles F. Hoban, Sr, Charles F. Hoban, Jr, dan Stanley B. Zissman (1937). Dalam buku ini, penulis menyatakan bahwa nilai materi audiovisual adalah fungsi derajat realisme. Para penulis juga menyajikan hirarki media, mulai dari hadirnya konsep-konsep dengan cara abstrak bagi mereka yang memungkinkan untuk representasi sangat konkret (Heinich, Molenda, Russell, & Smaldino, 1999). Beberapa ide-ide ini sebelumnya telah dibicarakan oleh orang lain tetapi belum ditangani secara menyeluruh. Pada tahun 1946, Edgar Dale kemudian dijabarkan lebih lanjut pada ide-ide ketika dia mengembangkan  “Pengalaman Cone.” Sepanjang sejarah audiovisual dalam gerakan konstruksi, banyak telah menunjukkan bahwa bagian dari nilai bahan audiovisual adalah kemampuan mereka untuk menyajikan konsep-konsep secara konkret (Saettler, 1990).
Sebuah media yang mendapat perhatian besar selama periode ini adalah radio. Pada awal 1930-an, penggemar audiovisual banyak yang mengelu-elukan radio sebagai media yang akan merevolusi pendidikan. Misalnya,  mengacu pada potensi instruksional radio, film, dan televisi, editor publikasi untuk Asosiasi Pendidikan Nasional menyatakan bahwa “suatu hari mereka akan seperti buku dan kuat dalam efek mereka pada belajar dan mengajar” (Morgan , 1932, hlm ix). Namun, bertentangan ini, melalui radio dua puluh tahun ke depan memiliki dampak yang sangat sedikit pada praktek instruksional (Kuba, 1986).
Perang Dunia II
Dengan terjadinya Perang Dunia II, pertumbuhan gerakan audiovisual di sekolah-sekolah melambat, namun, perangkat audiovisual yang digunakan secara luas dalam pelayanan militer dan dalam industri meningkat. Sebagai contoh, selama perang, Angkatan Darat Amerika Serikat Angkatan Udara menghasilkan film pelatihan lebih dari 400 dan 6G0 filmstrips, dan selama periode dua tahun (dari pertengahan 1943 sampai pertengahan 1945), diperkirakan bahwa lebih dari empat juta pertunjukan film pelatihan untuk personel militer AS. Meskipun ada sedikit waktu dan kesempatan untuk mengumpulkan data mengenai dampak dari film pada kinerja personil militer, beberapa survei instruktur militer mengungkapkan bahwa mereka percaya bahwa film pelatihan dan filmstrips yang digunakan selama perang itu trainintools efektif (Saettler , 1990). Setidaknya beberapa musuh telah disepakati; pada tahun 1945, setelah perang berakhir, Kepala Staf Umum Jerman mengatakan, “Kami memiliki segalanya dihitung sempurna kecuali kecepatan Amerika mampu melatih orang-orang yang salah perhitungan utama meremehkan penguasaan mereka cepat dan lengkap pendidikan film “(dikutip dalam Olsen & Bass, 1982, hal 33)
Selama perang, film-film pelatihan juga memainkan peran penting dalam mempersiapkan warga sipil di Amerika Serikat untuk bekerja dalam bidang industri. Pada tahun 1941, pemerintah federal membentuk Divisi Visual Aids untuk Pelatihan Perang. Dari tahun 1941 sampai 1945, organisasi ini mengawasi produksi film 457 pelatihan. Kebanyakan direksi pelatihan melaporkan bahwa film mengurangi waktu pelatihan tanpa memiliki dampak negatif pada efektivitas pelatihan dan bahwa film lebih menarik dan menghasilkan absensi kurang dari program pelatihan tradisional (Saettler, 1990).
Selain film-film pelatihan dan proyektor film, berbagai bahan dan peralatan audiovisual lainnya yang bekerja dalam militer dan bidang industri selama Perang Dunia II. Perangkat yang digunakan secara luas termasuk proyektor overhead, yang pertama kali dihasilkan selama perang; proyektor slide, yang digunakan dalam mengajar pengakuan pesawat dan kapal: peralatan audio, yang digunakan dalam mengajar bahasa asing: dan simulator dan perangkat pelatihan, yang dipekerjakan dalam pelatihan penerbangan (Olsen & Bass, 1982 Saettler, 1990).

Pasca Perang Dunia II Perkembangan dan Media Penelitian
Perangkat audiovisual yang digunakan selama Perang Dunia II secara umum dianggap sukses dalam membantu Amerika Serikat memecahkan masalah utama pelatihan: bagaimana melatih yang  efektif dan efisien dengan latar belakang individu yang beragam. Sebagai hasil dari keberhasilan nyata, setelah perang ada minat baru dalam menggunakan perangkat audiovisual di sekolah-sekolah (Finn. 1972: Olsen & Bass, 1982). Dalam dekade setelah perang, beberapa program penelitian audiovisual intensif dilakukan.  Studi penelitian yang dilakukan sebagai bagian dari program ini, dirancang untuk mengidentifikasi bagaimana berbagai fitur, atau atribut, bahan audiovisual yang terkena pembelajaran, tujuan untuk mengidentifikasi atribut yang akan memfasilitasi pembelajaran dalam situasi tertentu. Misalnya, satu program penelitian, yang dilakukan di bawah arahan ArthurA. Lumsdaine, difokuskan pada identifikasi bagaimana belajar dipengaruhi oleh berbagai teknik untuk memunculkan respon siswa terbuka selama menonton Film instruksional (Lumsdaine, 1963).
Pasca-Perang Dunia II program penelitian audiovisual adalah upaya terkonsentrasi pertama untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip belajar yang dapat digunakan dalam desain bahan audiovisual. Namun, praktik-praktik pendidikan tidak terlalu dipengaruhi oleh program-program penelitian bahwa praktisi utama mengabaikan atau tidak dibuat sadar banyak temuan penelitian (Lumsdaine. 1963. 1964).
Sebagian besar penelitian media yang telah dilakukan selama bertahun-tahun dibandingkan seberapa banyak siswa telah belajar, setelah menerima pelajaran yang disajikan melalui media tertentu, seperti film, televisi, radio, atau komputer, versus berapa banyak siswa telah belajar dari hidup instruksi pada topik yang sama. Studi jenis ini, sering disebut studi media perbandingan, biasanya mengungkapkan bahwa siswa belajar sama baiknya terlepas dari sarana presentasi (Clark, 1983, 1994; Schramm, 1977). Mengingat temuan ini, kritikus penelitian tersebut telah menyarankan bahwa fokus studi tersebut harus berubah. Beberapa berpendapat bahwa peneliti harus fokus pada atribut (karakteristik) media (Levie & Dickie, 1973), yang lain menyarankan pemeriksaan bagaimana media mempengaruhi pembelajaran (Kozma, 1991, 1994), dan yang lainnya telah menyarankan bahwa fokus penelitian harus pada metode pengajaran, bukan pada media yang memberikan metode-metode (Clark, 1983, 1994). Dalam beberapa tahun terakhir, beberapa jenis studi telah menjadi lebih umum.

Teori Komunikasi
Selama awal 1950-an, banyak pemimpin dalam gerakan nstruksi audiovisual menjadi tertarik pada berbagai teori atau model komunikasi, seperti model yang diajukan oleh Shannon dan Weaver (1949). Model ini berfokus pada proses komunikasi, sebuah proses yang melibatkan pengirim dan penerima pesan dan saluran, atau media, melalui mana pesan yang dikirim. Para penulis model ini menunjukkan bahwa selama perencanaan untuk komunikasi, maka perlu untuk mempertimbangkan semua unsur dari proses komunikasi dan tidak hanya fokus pada media, karena banyak di bidang audiovisual cenderung untuk melakukan. Sebagai Berlo (1963) menyatakan, “Sebagai orang komunikasi saya harus berpendapat kuat bahwa itu adalah proses yang sentral dan bahwa media meskipun penting, adalah hal sekunder” (hal. 378). Beberapa pemimpin dalam gerakan audiovisual, seperti Dale (1953) dan Finn (1954), juga menekankan pentingnya proses komunikasi. Meskipun pada awalnya, praktisi audiovisual tidak  dipengaruhi oleh gagasan (Lumsdaine. 1964; Mcierhenry, 1980), dari sudut pandang ekspresi akhirnya membantu untuk memperluas fokus gerakan audiovisual (Ely, 1963, 1970; Silber, 1981 ).

Televisi Pembelajaran
Mungkin faktor yang paling penting mempengaruhi gerakan audiovisual pada 1950-an adalah meningkatnya minat dalam televisi sebagai media untuk memberikan instruksi. Sebelum tahun 1950-an, telah terjadi sejumlah kasus di mana televisi telah digunakan untuk tujuan instruksional (Gumpert, 1967; Taylor, 1967). Selama tahun 1950-an, terjadi pertumbuhan yang luar biasa dalam penggunaan televisi pembelajaran. Pertumbuhan ini dirangsang oleh dua faktor utama.
Salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan televisi pembelajaran adalah keputusan tahun 1952 oleh Komisi Komunikasi Federal untuk menyisihkan 242 saluran televisi untuk tujuan pendidikan. Keputusan ini menyebabkan perkembangan pesat sejumlah besar masyarakat (kemudian disebut “pendidikan”) stasiun televisi. Pada tahun 1955, ada tujuh belas stasiun seperti di Amerika Serikat, dan pada tahun 1960, jumlah itu meningkat menjadi lebih dari lima puluh (Blakely, 1979). Salah satu misi utama dari stasiun-stasiun ini adalah presentasi dari program pembelajaran.  Hezel (1980) menunjukkan, “Peran mengajar telah dianggap berasal dari penyiaran publik. Terutama sebelum tahun 1960-an, pendidikan penyiaran dipandang cepat dan efisien, berarti murah untuk memuaskan kebutuhan pembelajaran bangsa” (hal. 173).
Pertumbuhan televisi pembelajaran selama tahun 1950 juga didukung oleh dana yang disediakan oleh Ford Foundation. Diperkirakan bahwa selama tahun 1950-an dan 1960-an, yayasan dan lembaga yang menghabiskan lebih dari $ 170.000.000 untuk televisi pendidikan (Gordon, 1970). (Di Indonesia juga ada televisi pendidikan. Yaitu di era 1970-an. Pada era itu disiarkan program ACIL). Proyek yang disponsori oleh yayasan termasuk sistem televisi sirkuit tertutup digunakan untuk memberikan instruksi dalam semua bidang subjek utama di semua tingkatan kelas di seluruh sistem sekolah di Washington County (Hagerstown), Maryland, sebuah kurikulum SMP sampai universitas yang disajikan melalui televisi publik di Chicago, sebuah program penelitian eksperimental skala besar dirancang untuk menilai efektivitas dari serangkaian program kuliah yang diajarkan melalui televisi sirkuit tertutup di Pennsylvania State University, dan Program Midwest pada Instruksi televisi Airborne, sebuah program yang dirancang secara bersamaan tentang pelajaran televisi  untuk sekolah di enam negara.

Pada pertengahan 1960-an, banyak kepentingan dalam menggunakan televisi untuk tujuan instruksional mereda. Banyak proyek-proyek televisi pembelajaran yang dikembangkan selama periode ini  berjalan singkat. Masalah ini sebagian karena kualitas pembelajaran biasa-biasa saja dari beberapa program yang dihasilkan, banyak dari mereka tidak lebih daripada saat seorang guru memberikan kuliah. Pada tahun 1963, Ford Foundation memutuskan untuk memfokuskan dukungan pada televisi publik secara umum, daripada  aplikasi televisi instruksional di sekolah (Blakely, 1979). Banyak sekolah menghentikan demonstrasi proyek televisi pembelajaran karena dana eksternal untuk proyek-proyek dihentikan (Tyler. 1975b). Pemrograman pembelajaran masih merupakan bagian misi penting dari  televisi publik, tapi misi sekarang lebih luas, meliputi jenis pemrograman lain, seperti presentasi budaya dan informasi (Hezel, 1980). Banyak alasan yang telah diberikan, mengapa televisi pembelajaran tidak diadopsi untuk tingkat yang lebih besar. Ini termasuk resistensi guru untuk penggunaan televisi di ruang kelas mereka, biaya instalasi dan pemeliharaan sistem televisi di sekolah, dan ketidakmampuan televisi sendiri  memberikan penyajian yang memadai  terhadap berbagai kondisi yang diperlukan untuk kepentingan belajar siswa(Gordon, 1970; Tyler , 1975b).

Pergeseran Terminologi
Pada awal 1970-an, istilah teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran mulai menggantikan instruksi audiovisual sebagai istilah yang digunakan untuk menggambarkan aplikasi media untuk tujuan pembelajaran. Sebagai contoh, pada tahun 1970, nama organisasi profesional utama dalam bidang itu diubah dari Departemen Audiovisual Instruksi kepada Asosiasi untuk Komunikasi dan Teknologi Pendidikan (AECT). Kemudian dalam dekade tersebut, nama dari dua jurnal yang diterbitkan oleh AECT juga berubah: Tinjauan Komunikasi Audiovisual menjadi Komunikasi Pendidikan dan Jurnal Teknologi, dan Instruksi Audiovisual menjadi Inovator Instruksional. Selain itu, kelompok yang dibentuk pemerintah AS untuk memeriksa dampak media instruksi disebut Komisi Instructional Technology. Terlepas dari terminologi, bagaimanapun, sebagian besar individu di lapangan sepakat bahwa sampai saat itu, media pembelajaran telah memiliki dampak minimal pada praktek-praktek pendidikan (Komisi Instructional Technology, 1970; Kuba, 1986)

Komputer: Dari tahun 1950-an sampai 1995-an
Setelah minat di televisi pembelajaran memudar, inovasi teknologi berikutnya untuk memberi perhatian sejumlah besar pendidik adalah komputer. Meskipun minat yang luas dalam komputer sebagai alat instruksional tidak terjadi sampai tahun 1980-an, komputer pertama kali, digunakan dalam pendidikan dan pelatihan. Banyak karya awal di komputer-dibantu instruksi (CAI) dilakukan pada tahun 1950 oleh peneliti di IBM, yang mengembangkan bahasa CAI. Penulisan pertama dan dirancang salah satu program CAI pertama untuk digunakan di sekolah-sekolah umum. Pelopor lain di daerah ini termasuk Gordon Pask, yang adaptif mesin mengajar memanfaatkan teknologi komputer (Lewis & Pask, 1965; Pask, 1960; Stolorow & Davis, 1965), dan Richard Atkinson dan Patrick Suppes, yang bekerja selama tahun 1960 menyebabkan beberapa aplikasi CAI awal di kedua sekolah publik dan tingkat universitas (Atkinson & Hansen, 1966; Suppes & Macken, 1978). Upaya besar lain selama 1960-an dan awal 1970-an termasuk pengembangan sistem CAI seperti PLATO dan TICCIT. Namun, meskipun pekerjaan yang telah dilakukan, pada akhir 1970-an, CAI  sedikit berdampak  pada pendidikan (Pagliaro, 1983).
Pada awal 1980-an, beberapa tahun setelah mikrokomputer tersedia untuk masyarakat umum, antusiasme terhadap alat ini menyebabkan meningkatnya minat dalam menggunakan komputer: untuk tujuan pembelajaran. Pada Januari 1983, komputer sedang digunakan untuk tujuan pembelajaran  lebih dari 40% dari semua sekolah dasar dan lebih dari 75% dari semua sekolah menengah di Amerika Serikat (Pusat Organisasi Sosial Sekolah, 1983).
Banyak pendidik yang tertarik terhadap mikrokomputer meskipun harganya yang relatif mahal, cukup serentak dalam penggunaan desktop, dan bisa melakukan banyak fungsi melalui penggunaan komputer . Seperti masalah penggunaan media lain, baru pertama kali diperkenalkan ke dalam lingkup pembelajaran, diharapkan bahwa media ini akan berdampak besar pada praktek pembelajaran. Sebagai contoh, pada tahun 1984. Papert menunjukkan bahwa komputer akan menjadi “katalis yang sangat mendalam dan radio perubahan dalam sistem pendidikan” (hal. 422) dan pada tahun 1990, peranan komputer akan menjadi bagian umum dalam urusan di sekolah-sekolah  Amerika Serikat.
Meskipun komputer akhirnya dapat memiliki dampak besar pada praktek pembelajaran di sekolah, pada pertengahan 1990-an, memiliki dampak kecil. Survei mengungkapkan bahwa pada 1995, meskipun sekolah-sekolah di Amerika Serikat yang dimiliki, rata-rata, satu komputer untuk sembilan siswa, dampak komputer pada praktek pembelajaran sangat minim, dengan sejumlah besar guru pelaporan penggunaan sedikit atau tidak ada komputer untuk tujuan instruksi. Selain itu, dalam banyak kasus, penggunaan komputer jauh dari inovatif. Di sekolah dasar, guru melaporkan bahwa komputer sedang digunakan terutama untuk bidang  praktek; pada tingkat menengah, laporan menunjukkan bahwa komputer terutama  digunakan  untuk mengajar keterampilan yang berkaitan dengan komputer seperti pengolah kata (Anderson & Ronnkvi1999; Becker, 1998; Kantor Technology Assessment, 1995)

Perkembangan terbaru
Sejak tahun 1995, kemajuan pesat dalam komputer dan teknologi digital lainnya, serta Internet, telah menyebabkan minat yang meningkat pesat, dan penggunaan media.  Untuk tujuan pembelajaran, khususnya dalam pelatihan bisnis dan industri. Sebagai contoh, sebuah survei terbaru dari lebih dari 750 perusahaan pelatihan industri (Bassi & Van Buren, 1999) mengungkapkan bahwa persentase dari pelatihan yang disampaikan melalui teknologi baru seperti CD-ROM, intranet, dan internet meningkat dari kurang dari 6% di tahun 1996 menjadi lebih dari 9% pada tahun 1997 dan diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 22% pada tahun 2000. Survei lain baru-baru ini melaporkan bahwa pada tahun 1999, 14% dari semua pelatihan formal disampaikan melalui komputer (“Industri Laporan 1999″, 1999).
Dalam beberapa tahun terakhir, minat dalam menggunakan Internet untuk tujuan pembelajaran juga telah berkembang pesat dalam pendidikan tinggi dan militer. Sebagai contoh, antara 1994-95 dan 1997-98 tahun akademik, pendaftaran dalam kursus-kursus belajar jarak jauh di lembaga pendidikan tinggi di Amerika Serikat hampir dua kali lipat, dan persentase institusi yang menawarkan program pembelajaran jarak jauh meningkat dari 33% menjadi 44%, dengan 78% dari publik empat tahun lembaga yang menawarkan program tersebut. Selain itu, sedangkan pada tahun 1995, hanya 22% dari lembaga pendidikan tinggi menawarkan program pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi internet berbasis asynchronous, pada tahun 1997-98 akademik, 60% dari lembaga melakukannya (Lewis. Salju, Farris, Levin, & Greene, 1999). Dalam militer, pada tahun 2000, Sekretaris Angkatan Darat AS mengumumkan bahwa 5600000000 akan dihabiskan selama enam tahun ke depan untuk memungkinkan tentara untuk mengambil kursus pendidikan jarak jauh melalui Internet (Carr, 2000).

Sejak tahun 1995, ada juga peningkatan yang signifikan dalam jumlah teknologi yang tersedia di sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Sebagai contoh, hasil survei nasional 1998 (Anderson & Ronnkvist, 1999) mengungkapkan bahwa sementara pada tahun 1995 rata-rata ada satu komputer untuk setiap sembilan siswa, pada tahun 1998 rasio tersebut telah dikurangi menjadi satu komputer untuk setiap enam siswa. Selain itu, persentase sekolah yang memiliki akses Internet meningkat dari 50% pada 1995 menjadi 90% pada tahun 1998. Namun,. sebagaimana telah terjadi sepanjang sejarah media pembelajaran, peningkatan hadirnya teknologi di sekolah-sekolah tidak selalu berarti meningkatan penggunaan teknologi untuk tujuan pembelajaran. Anderson & Ronnkvist (1999) juga menyatakan bahwa meskipun jumlah komputer di sekolah telah meningkat, sebagian besar komputer yang cukup terbatas dalam hal perangkat lunak yang mereka jalankan. Selanjutnya, mereka menunjukkan bahwa meskipun sebagian besar sekolah sekarang memiliki akses Internet, akses Internet terbatas di banyak sekolah, dengan beberapa siswa mampu menggunakannya pada sekolah mereka. Pengamatan ini membuat sulit untuk memastikan sejauh mana praktik pembelajaran di sekolah-sekolah telah dipengaruhi oleh adanya peningkatan media.
Terlepas dari ketidakpastian tentang sejauh mana penggunaan media di sekolah, sebagian besar bukti yang dikutip jelas menunjukkan bahwa sejak tahun 1995, telah terjadi peningkatan yang signifikan dalam penggunaan media pembelajaran dalam berbagai pengaturan, mulai dari bisnis dan industri untuk pendidikan militer dan lebih tinggi. Dalam bisnis, industri, dan militer, Internet telah dilihat sebagai sarana memberikan instruksi dan informasi untuk pelajar tersebar luas dengan biaya yang relatif rendah. Selain itu, dalam banyak kasus, aksesibilitas komputer yang mudah memungkinkan peserta didik untuk menerima dukungan instruksi dan / atau kinerja (seringkali dalam bentuk sistem pendukung kinerja elektronik atau sistem manajemen pengetahuan) kapan dan di mana mereka membutuhkannya, karena mereka melakukan tugas-tugas pekerjaan tertentu.
Dalam pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh melalui Internet telah dilihat sebagai metode rendah biaya menyediakan instruksi untuk siswa yang, karena berbagai faktor (misalnya, pekerjaan dan tanggung jawab keluarga jarak geografis.), Tidak mungkin sebaliknya telah mampu menerimanya. Namun, pertanyaan tentang efektivitas-biaya dari instruksi tersebut masih belum terjawab (Hawkridge. 1999).

Alasan lain bahwa media baru yang digunakan untuk tingkat yang lebih besar mungkin karena peningkatan kemampuan interaktif dari media. Moore (1989) menjelaskan tiga jenis interaksi antara agen yang biasanya terlibat dalam kegiatan pembelajaran. Interaksi ini antara peserta didik dan konten pembelajaran, antara pelajar dan instruktur, dan di antara pembelajar sendiri. Sifat media pembelajaran yang umum selama beberapa bagian dari ketiga dua yang pertama, dari abad lalu (e., .. film dan televisi pembelajaran) dipekerjakan terutama sebagai sarana memiliki peserta didik berinteraksi dengan isi pembelajaran . Sebaliknya, melalui penggunaan fitur seperti e-mail, chat room dan bulletin board, Internet sering digunakan sebagai sarana untuk peserta didik dengan instruktur dengan pelajar lain, serta dengan konten instruksional. Ini adalah salah satu contoh bagaimana beberapa media baru membuatnya lebih mudah untuk mempromosikan, berbagai jenis interaksi yang digambarkan oleh Moore.
Selain itu, kemajuan dalam teknologi komputer, khususnya berkaitan dengan meningkatkannya kemampuan multimedia media ini, membuat lebih mudah bagi pendidik untuk merancang pengalaman belajar yang melibatkan interaksi antara peserta didik lebih konten pembelajaran daripada sebelumnya. Misalnya, seperti jumlah dan jenis informasi yang dapat disajikan oleh komputer telah meningkat, jenis umpan balik serta jenis masalah, yang dapat disajikan kepada peserta didik telah sangat diperluas. Kemampuan ini meningkatkan pembelajaran menjadi menarik perhatian banyak pendidik. Selain itu, kemampuan komputer untuk menyajikan informasi dalam berbagai bentuk, serta memungkinkan peserta didik untuk mudah link ke berbagai konten, telah menarik minat perancang pembelajaran memiliki perspektif konstruktivis. Orang yang sangat peduli dengan penyajian masalah otentik (mis. “dunia nyata”) dalam lingkungan belajar di mana peserta didik memiliki banyak kontrol atas kegiatan yang mereka terlibat dalam dan alat-alat dan sumber daya yang mereka gunakan, menemukan teknologi digital yang baru lebih akomodatif daripada pendahulunya.
Seperti beberapa contoh dalam beberapa paragraf sebelumnya menunjukkan, bahwa dalam beberapa tahun terakhir komputer, Internet. dan teknologi digital lainnya sering digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja melalui beberapa cara non-tradisional. Sebagai contoh, sistem kinerja komputer dibantu dukungan elektronik. sistem manajemen pengetahuan, dan pelajar-berpusat lingkungan belajar sering berfungsi sebagai alternatif untuk pelatihan atau instruksi langsung. Ketika dampak masa kini media pembelajaran sedang dipertimbangkan, jenis aplikasi tidak boleh diabaikan.

Kesimpulan Mengenai Sejarah Media Instruksional
Dari banyak pelajaran yang dapat kita pelajari dengan meninjau sejarah media pembelajaran, mungkin salah satu yang paling penting melibatkan perbandingan antara efek diantisipasi dan aktual media pada praktek instruksional. Sebagai mana Kuba (1986) telah menunjukkan, saat kita meninjau-melihat kembali selama abad terakhir dari sejarah media, Anda mungkin perlu diperhatikan pola berulang dari harapan dan hasil. Sebagai media baru memasuki adegan pendidikan, ada banyak minat awal dan antusiasme banyak tentang efek kemungkinan untuk memiliki pada praktek instruksional. Namun, antusiasme dan ketertarikan akhirnya memudar, dan pemeriksaan mengungkapkan bahwa media memiliki dampak minimal terhadap praktek tersebut. Misalnya, prediksi optimis Edison bahwa film akan merevolusi pendidikan terbukti tidak benar, dan antusiasme untuk televisi instruksional yang ada selama tahun 1950 sangat berkurang pada pertengahan tahun 1960-an, dengan dampak kecil pada instruksi di sekolah. Kedua contoh melibatkan penggunaan media di sekolah-sekolah, pengaturan di mana penggunaan media pembelajaran telah paling erat diperiksa. Namun, data mengenai penggunaan media pembelajaran dalam bisnis dan industri mendukung kesimpulan serupa, yaitu, bahwa meskipun antusiasme tentang penggunaan media pembelajaran dalam bisnis dan industri, sampai saat ini media yang memiliki dampak minimal terhadap praktik pembelajaran dalam lingkungan tersebut.
Bagaimana dengan prediksi, pertama dibuat pada 1980-an, bahwa komputer akan merevolusi instruksi? Sebagai data dari sekolah mengungkapkan, pada pertengahan 1990-an, bahwa revolusi tidak terjadi. Namun, data dari paruh kedua dekade menunjukkan kehadiran berkembang, dan mungkin penggunaan, komputer dan internet di sekolah. Selain itu, selama akhir 1990-an, media ini mengambil peran dukungan semakin besar dalam pembelajaran dan kinerja dan juga dalam pengaturan lainnya seperti bisnis dan industri dan pendidikan tinggi. Apakah dampak media pada instruksi lebih besar di masa depan daripada itu telah di masa lalu?
Berdasarkan alasan tersebut untuk meningkatnya penggunaan media baru, adalah wajar untuk memperkirakan bahwa selama dekade berikutnya, komputer, internet, dan media digital lainnya akan membawa perubahan besar dalam praktek instruksional dari media yang mendahului mereka. Namun, mengingat sejarah media dan dampaknya pada praktik pembelajaran, adalah juga wajar untuk mengharapkan bahwa perubahan tersebut, baik di sekolah dan pengaturan instruksional lainnya, cenderung terjadi lebih lambat dan kurang luas daripada media yang paling penggemar saat ini memprediksi.

Sejarah Desain Pembelajaran
Seperti disebutkan sebelumnya, selain erat kaitannya dengan media pembelajaran, bidang desain pembelajaran dan teknologi juga telah berhubungan erat dengan penggunaan sistematis prosedur desain pembelajaran. Berbagai set prosedur yang sistematis desain instruksional (atau model) telah dikembangkan dan telah dirujuk oleh istilah-istilah seperti pendekatan sistem, sistem desainpembelajaran (ISD) pengembangan pembelajaran, dan desain pembelajaran. Meskipun kombinasi spesifik dari prosedur sering bervariasi dari satu model desain pembelajaran ke model berikutnya, sebagian besar model termasuk analisis masalah pembelajaran dan desain, pengembangan, implementasi dan evaluasi prosedur instruksi dan materi yang bertujuan untuk memecahkan masalah tersebut. Bagaimana proses desain pembelajaran muncul menjadi ada? Bahasan ini akan fokus pada menjawab pertanyaan itu.
Asal Usul Desain Pembelajaran: Perang Dunia II
Asal-usul prosedur desain pembelajaran telah ditelusuri pada Perang Dunia II (Dick, 1987). Selama perang, sejumlah besar psikolog dan pendidik yang memiliki pelatihan dan pengalaman dalam melakukan penelitian eksperimental dipanggil untuk melakukan penelitian dan mengembangkan bahan pelatihan untuk layanan militer. Individu-individu ini, termasuk Robert Gagne. Leslie Briggs, John Flanagan, dan banyak lainnya, memberikan pengaruh yang cukup besar pada karakteristik bahan-bahan pelatihan yang dikembangkan, banyak mendasarkan pekerjaan mereka pada prinsip-prinsip pembelajaran berasal dari penelitian dan teori instruksi, belajar, dan perilaku manusia (Baker, 1973; Saettler, 1990)
Selain itu, psikolog menggunakan pengetahuan mereka tentang evaluasi dan pengujian untuk membantu menilai keterampilan peserta pelatihan dan memilih orang yang paling mungkin bermanfaat dari program pelatihan tertentu. Sebagai contoh, pada satu titik dalam perang, tingkat kegagalan dalam program pelatihan penerbangan khusus ini sangat tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, psikolog memeriksa keterampilan intelektual, psikomotor dan persepsi umum dari individu yang berhasil melakukan keterampilan yang diajarkan dalam program, dan kemudian tes dikembangkan yang diukur sifat-sifat ini. Tes ini digunakan untuk menyaring calon-calon untuk program ini, orang-orang yang mencetak sedang diarahkan ke program lain. Sebagai hasil dari menggunakan pemeriksaan keterampilan masuk sebagai perangkat skrining, militer mampu secara signifikan meningkatkan persentase personil yang berhasil menyelesaikan program (Gagne, komunikasi pribadi, 1985).
Setelah perang, banyak psikolog yang bertanggung jawab atas keberhasilan program pelatihan Dunia II Perang militer terus bekerja pada pemecahan masalah pembelajaran. Organisasi seperti Institut Amerika untuk Penelitian yang estiablished untuk tujuan ini. Selama 1940-an dan sepanjang 1950-an, psikolog yang bekerja untuk organisasi tersebut dimulai melihat pelatihan sebagai suatu sistem, dan mengembangkan sejumlah analisis yang inovatif, desain, dan prosedur evaluasi (Dick, 1987). Sebagai contoh. selama periode ini, tugas metodologi analisis rinci dikembangkan oleh Robert B. Miller sementara ia bekerja pada proyek-proyek untuk militer (Miller. 1953. 1962). Pekerjaannya dan orang-orang dari pionir awal lain di bidang desain instruksional dirangkum dalam Prinsip Psikologis dalam Sistem Dei’elopmenr, diedit oleh Gagne (1962b).

Awal Perkembangan:
Gerakan Programmed Instruksi
Gerakan instruksi diprogram, yang berlangsung dari pertengahan 1950-an melalui  pertengahan 1960-an, terbukti menjadi faktor utama dalam pengembangan pendekatan sistem. Pada tahun 1954, pasal BF Skinner berjudul Ilmu dan Seni Belajar Mengajar memulai apa yang bisa disebut sebuah revolusi kecil dalam bidang pendidikan. Dalam artikel ini dan yang kemudian (misalnya, Skinner, 1958), Skinner menggambarkan ide-idenya tentang persyaratan untuk belajar manusia meningkat dan karakteristik yang diinginkan dari bahan instruksional yang efektif. Skinner menyatakan bahwa bahan tersebut, yang disebut bahan pembelajaran diprogram, harus menyajikan instruksi dalam langkah-langkah kecil, memerlukan respon aktif untuk pertanyaan yang sering dipertanyakan, memberikan umpan balik segera, dan memungkinkan untuk pelajar diri mondar-mandir. Selain itu, karena setiap langkah kecil, ia berpikir bahwa peserta didik akan menjawab semua pertanyaan dengan benar dan dengan demikian secara positif diperkuat oleh umpan balik yang mereka terima.
Proses yang Skinner (lih. Lumsdaine & Glaser, 1960) dijelaskan untuk mengembangkan instruksi diprogram dicontohkan suatu pendekatan empiris untuk memecahkan masalah pendidikan: Data mengenai efektivitas bahan dikumpulkan, kelemahan diidentifikasi pembelajaran, dan bahan direvisi sesuai . Selain itu percobaan dan prosedur revisi, yang kini disebut evaluasi formatif, proses untuk mengembangkan bahan diprogram melibatkan banyak langkah yang ditemukan dalam model desain instruksional saat ini. Sebagai Heinich (1970) menunjukkan:
Instruksi terprogram telah dikreditkan oleh beberapa dengan memperkenalkan pendekatan sistem untuk pendidikan. Dengan menganalisis dan mogok konten ke tujuan perilaku tertentu, merancang langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai tujuan, menyiapkan prosedur untuk mencoba dan merevisi langkah-langkah, dan memvalidasi program terhadap pencapaian tujuan, instruksi program berhasil menciptakan instruksi kecil tapi efektif dari sistem pembelajaran teknologii. (Hal. 123)
Para Popularisasi Tujuan Perilaku
Sebagaimana ditunjukkan, yang terlibat dalam merancang bahan pembelajaran diprogram sering kali memulai dengan mengidentifikasi tujuan peserta didik tertentu yang menggunakan bahan-bahan diharapkan untuk mencapai tujuan. Pada tahun 1962, Robert Mager mengenali kebutuhan untuk mengajar para pendidik bagaimana menulis tujuan, menulis, mempersiapkan tujuan untuk tindakan terprogram. Bahasan ini menjelaskan bagaimana untuk menulis tujuan yang mencakup deskripsi perilaku peserta didik yang diinginkan, kondisi di mana perilaku harus dilakukan, dan standar (kriteria) dengan mana perilaku harus dinilai. Masa kini banyak penganut proses desain pembelajaran menganjurkan persiapan tujuan yang mengandung ketiga unsur.
Meskipun Mager mempopulerkan penggunaan tujuan, konsep itu dibahas dan digunakan oleh pendidik setidaknya selama awal 1900-an. Di antara pendukung awal penggunaan tujuan jelas dinyatakan adalah Bobbitt, Charters, dan Burk (Gagne, 1965a). Namun, Ralph Tyler sering dianggap sebagai bapak dari gerakan tujuan perilaku. Pada tahun 1934, ia menulis bahwa tujuan harus didefinisikan dalam istilah yang menentukan perilaku saja harus membantu mengembangkan (dikutip dalam Walbesser & Eisenberg, 1972). Selama studi Delapan Tahun yang terkenal yang diarahkan Tyler bahwa ditemukan bahwa sekolah ketika tidak menetapkan tujuan, tujuan tersebut biasanya cukup jelas. Pada akhir proyek, bagaimanapun, itu menunjukkan bahwa tujuan bisa diklarifikasi dengan menyatakan bahwa tujuan bisa berfungsi sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas instruksi (Borich, 1980; Tyler, 1975a).
Pada tahun 1950, tujuan perilaku diberi dorongan lain ketika Benjamin Bloom dan rekan-rekannya menerbitkan Taksonomi Tujuan Pendidikan (1956). Para penulis dari karya ini menunjukkan bahwa dalam domain kognitif ada berbagai jenis hasil belajar, bahwa tujuan dapat diklasifikasikan menurut jenis perilaku peserta didik yang dijelaskan di dalamnya, dan bahwa ada hubungan hirarki antara berbagai jenis hasil. Selain itu, mereka menunjukkan bahwa tes harus dirancang untuk mengukur masing-masing jenis hasil. Sebagaimana akan dilihat dalam bahasan ini, gagasan yang sama dijelaskan oleh pendidik lainnya memiliki implikasi signifikan untuk desain instruksi yang sistematis.

Kriteria-Referensi Gerakan Pengujian
Pada awal 1960-an, faktor lain yang penting dalam pengembangan proses desain pembelajaran adalah munculnya kriteria-referensi pengujian. Sampai saat itu, tes yang palingmengacu pada tes norma, dirancang untuk menyebarkan kinerja peserta didik, sehingga dalam beberapa siswa baik-baik pada tes dan orang lain melakukan buruk. Sebaliknya, tes yang mengacu pada kriteria ini dimaksudkan untuk mengukur seberapa baik seorang individu dapat melakukan perilaku tertentu atau seperangkat perilaku, terlepas dari bagaimana orang lain juga melakukan. Pada awal 1932, Tyler telah menunjukkan bahwa tes Bisa digunakan untuk tujuan tersebut (Dale. 1967). Dan kemudian, Flanagan (1951) dan Ehel (1962) mendiskusikan perbedaan antara tes tersebut dan ukuran norma. Namun, Robert Glaser (1963:. Glaser & Klaus 1962) adalah orang pertama yang menggunakan istilah kriteria. Dalam membahas langkah-langkah tersebut. Glaser (1963) menunjukkan bahwa dapat digunakan untuk menilai perilaku siswa dan untuk menentukan sejauh mana siswa telah memperoleh perilaku program pembelajaran dirancang untuk mengajar.
Robert M. Gagne: Domain Belajar, Acara Instruksi, dan Analisis Hirarkis
Peristiwa penting lainnya dalam sejarah desain instruksional terjadi pada tahun 1965, dengan penerbitan edisi pertama The Conclirions off Belajar, ditulis oleh Robert Gagne (I965b). Dalam buku ini, Gagne menggambarkan lima domain, atau jenis, pembelajaran hasil dan informasi lisan, keterampilan intelektual, keterampilan psikomotor, sikap, dan kognitif strategi, masing-masing yang dibutuhkan berbeda kondisi masing-masingnya untuk meningkatkan pembelajaran. Gagne juga memberikan deskripsi rinci dari kondisi-kondisi untuk setiap jenis hasil pembelajaran.
Dalam volume yang sama, Gagne juga menggambarkan peristiwa sembilan instruksi, atau kegiatan mengajar, bahwa ia dianggap penting untuk mempromosikan pencapaian dari setiap jenis hasil belajar. Gagne juga menggambarkan kejadian pembelajaran yang secara khusus penting untuk hasil dan membahas keadaan di mana peristiwa tertentu dapat dikecualikan. Dalam edisi keempat (Gagne, 1985). Deskripsi Gagne tentang berbagai jenis hasil pembelajaran dan peristiwa instruksi tetap dari praktek desain pembelajaran.
Gagne bekerja di bidang hierarki belajar dan hirarkis analisis juga memiliki dampak yang signifikan pada bidang desain pembelajaran. Pada awal 1960-an dan kemudian karirnya (misalnya,-Gagne, 1962a, 1985; Gagne, Briggs, & Wager, 1992; Gagne & Medsker, 1996), Gagne menunjukkan bahwa keterampilan dalam domain keterampilan intelektual memiliki hubungan hirarkis masing-masing: agar mudah belajar melakukan keterampilan superordinate, yang pertama harus menguasai keterampilan bawahan untuk itu. Konsep ini mengarah pada gagasan penting yang harus dirancang sehingga untuk memastikan bahwa peserta didik memperoleh keterampilan bawahan sebelum mereka mencoba untuk memperoleh yang lebih tinggi. Gagne melanjutkan untuk menggambarkan proses analisis hirarkis untuk mengidentifikasi keterampilan bawahan. Proses ini tetap merupakan fitur kunci dalam banyak model desain pembelajaran.
Sputnik: Launching Langsung Evaluasi Formatif
Pada tahun 1957, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik, satelit yang mengorbit ruang pertama, serangkaian acara yang akhirnya berdampak besar pada proses desain pembelajaran. Pemerintah AS, terkejut oleh keberhasilan upaya Soviet, menanggapi dengan menuangkan jutaan dolar ke dalam memperbaiki matematika dan pendidikan sains di Amerika Serikat. Bahan-bahan pembelajaran yang dikembangkan dengan dana ini biasanya ditulis materi pelajarannnya ditulis oleh dan diproduksi tanpa seleksi. Bertahun-tahun kemudian, pada pertengahan-I960-an, ketika ditemukan bahwa banyak dari bahan-bahan ini tidak terlalu efektif, Michael Scriven (1967) menunjukkan perlunya untuk mencoba rancangan materi pembelajaran dengan peserta didik sebelum bahan dimasukkan ke dalam bentuk akhir. Proses ini akan memungkinkan pendidik untuk memeriksa bahan dan jika perlu, merevisinya sementara bahan masih dalam stases formatif. Scriven sebut ini uji coba dan revisi proses evaluasi formatif dan membandingkannya dengan apa yang ia sebut evaluasi sumatif, pengujian bahan instruksional setelah mereka dalam bentuk terakhir mereka.
Meskipun istilah formatif dan evaluasi sumatif evaluasi yang diciptakan oleh Scriven, perbedaan antara pendekatan sebelumnya dibuat oleh Lee Cronbach (1963). Selain itu, selama 1940-an dan 1950-an, sejumlah pendidik, seperti Arthur Lumsdaine, Mark Mei. dan CR Carpenter, dijelaskan prosedur untuk mengevaluasi bahan pengajaran yang masih dalam tahap pembentukan (Cambre, 1981). Namun, meskipun tulisan-tulisan seperti pendidik, sangat sedikit dari produk pembelajaran yang dikembangkan pada 1940-an dan 1950-an melewati apapun proses evaluasi formatif. Situasi ini agak berubah pada 1950-an dan 1960-an melalui banyak bahan pengajaran terprogram yang dikembangkan selama periode yang diuji ketika mereka sedang dikembangkan. Namun. penulis seperti Susan Markle (1967) mencela kurangnya ketelitian dalam proses pengujian. Dalam terang masalah ini. Prosedur ini mirip dengan teknik evaluasi formatif dan sumatif yang umumnya seperti saat kini.

Permulaan Model Ddesain Pembelajaran
Pada awal dan pertengahan 1960-an, konsep-konsep yang sedang dikembangkan di berbagai bidang seperti analisis tugas, spesifikasi tujuan, dan kriteria-referensi pengujian yang dihubungkan bersama untuk membentuk sebuah proses, atau model, untuk secara sistematis mendesain materi pembelajaran. Di antara individu-individu pertama untuk menggambarkan model seperti itu Gagne (1962b). Glaser (1962 1965.), Dan Silvem (1964). Mereka menggunakan istilah-istilah seperti desain pembelajaran, pengembangan sistem, instruksi yang sistematis, dan sistem pembelajaran untuk menggambarkan model yang mereka ciptakan. Model desain pembelajaran lainnya yang diciptakan dan digunakan selama dekade ini termasuk yang dijelaskan oleh Banathy (1968), Barson (1967), dan Hamerus (1968).

Tahun 1970: Kepentingan yang berkembang dalam Desain Instuctional
Selama tahun 1970, jumlah model desain pembelajaran sangat meningkat. Bangunan pada karya-karya orang terdahulu, banyak orang menciptakan model baru untuk secara sistematis merancang instruksi (misalnya, Dick & Carey, 1978; Gagne & Briggs, 1974; Gerlach & Ely, 1971; Kemp, 1971). Memang, oleh er.J dekade, lebih dari empat puluh model seperti telah diidentifikasi (Andrews & Bagus, 1980).
Selama tahun 1970-an, minat dalam proses desain pembelajaran berkembang dalam berbagai sektor yang berbeda. Pada tahun 1975, beberapa cabang dari militer AS mengadopsi model desain pembelajaran (Branson dkk., 1975) yang dimaksudkan untuk memandu pengembangan bahan pelatihan dalam cabang-cabang. Di akademisi, banyak pusat peningkatan pengajaran diciptakan selama paruh pertama dekade dengan maksud membantu penggunaan media fakultas dan prosedur desain pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka (Gaff. 1975; Gustafson & Bratton, 1984). Selain itu, program pascasarjana dalam desain pembelajaran banyak diciptakan (Partridge & Tennyson, 1979; Redfield & Dick, 1984;.. Silber 1982). Dalam bisnis dan industri, banyak organisasi, melihat nilai dengan menggunakan instruksional sebagai tanda untuk meningkatkan kualitas pelatihan, mulai mengadopsi pendekatan (lih. Mager, 197: Miles, 1983). Dibanyak negara internasional seperti Korea Selatan. Liberia. dan Indonesia, melihat manfaat menggunakan desain pembelajaran untuk memecahkan masalah pembelajaran di negara-negara (Chadwick. 1986; Morgan, 1989). Bangsa ini mendukung program-program desain pembelajaran, organisasi dibuat untuk mendukung penggunaan desain pembelajaran, dan dukungan yang diberikan kepada individu menginginkan pelatihan di bidang ini. Banyak dari perkembangan ini adalah dicatat dalam Journal of Instructional Pembangunan, sebuah jurnal yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1970-an dan itulah cikal bakal pengembangan bagian Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pendidikan.

Tahun 1980-an: Pertumbuhan dan Pengalihan
Dalam banyak sektor, kepentingan dalam desain pembelajaran yang selama dekade sebelumnya terus tumbuh selama tahun 1980. Kepentingan dalam proses desain pembelajaran tetap kuat dalam bisnis dan industri (Bowsher, 1989:. Galagan 1989). Dalam militer (Chevalier, 1990; Finch, 1987; McCombs, 1986), dan di arena internasional (Ely & Plomp, 1986;Morgan 1989.Berbeda dengan pengaruhnya di sektor tersebut, selama tahun 1980, desain pembelajaran memiliki dampak minimal di daerah lain. Dalam arena sekolah umum, upaya pengembangan kurikulum beberapa terlibat penggunaan dasar proses desain pembelajaran (misalnya, Spady, 1988), dan beberapa buku desain pembelajaran bagi para guru yang diproduksi (misalnya, Dick & Reiser, 1989: Gerlach & Ely, 1980; Sullivan & Higgins, 1983). Namun, meskipun dari upaya ini, bukti menunjukkan bahwa desain pembelajaran mengalami dampak kecil pada instruksi di sekolah negeri (Branson & Grow, 1987; Burkman, 1987b; Rossett & Garbosky, 1987). Dalam nada yang sama, dengan beberapa pengecualian (misalnya, Diamond, 1989), praktek desain pembelajaran memiliki dampak minimal dalam pendidikan tinggi. Sedangkan pusat peningkatan pengajaran di pendidikan tinggi berkembang dalam jumlah melalui pertengahan 1970-an, pada tahun 1983 lebih dari seperempat dari organisasi tersebut telah dibubarkan, dan ada kecenderungan penurunan umum dalam anggaran pusat yang tersisa (Gustafson & Bratton, 1984) . Burkman (1987a, 1987b) memberikan analisis mencerahkan satu alasan mengapa upaya desain pembelajaran di sekolah dan universitas belum berhasil, dan kondisi ini kontras dengan kondisi yang lebih menguntungkan yang ada di bisnis dan militer.
Selama tahun 1980, ada tumbuh bagaimana prinsip-prinsip psikologi kognitif dapat diterapkan dalam proses desain pembelajaran, dan sejumlah publikasi menguraikan aplikasi potensial dijelaskan (misalnya, Bonner, 1988; Divesta & Rieber, 1987; “Wawancara dengan Robert M. Gagnc, “1982; Low, 1980). Namun, beberapa tokoh di lapangan telah menunjukkan bahwa efek sebenarnya psikologi kognitif pada praktek desain pembelajaran selama dekade ini agak kecil (Dick, 1987; Gustafson, 1993).
Faktor yang tidak memiliki efek besar pada praktek desain pembelajaran pada tahun 1980 adalah meningkatnya minat dalam penggunaan mikrokomputer untuk tujuan pembelajaran. Dengan munculnya perangkat ini. banyak profesional di bidang desain pembelajaran mengalihkan perhatian mereka untuk memproduksi instruksi berbasis komputer (Dick, 1987; Shrock, 1995). Lain membahas kebutuhan untuk mengembangkan model baru dari desain pembelajaran untuk mengakomodasi kemampuan interaktif teknologi ini (Merrill, Li, & Jones, 1990a, 1990b). Selain itu, komputer mulai digunakan sebagai alat untuk mengotomatisasi beberapa tugas desain pembelajaran (Merrill & Li. 1989).

Tahun 1990-an: Views Mengubah dan Praktek
Selama tahun 1990-an, berbagai perkembangan memiliki dampak yang signifikan terhadap prinsip-prinsip desain pembelajaran dan praktek. Sebagaimana ditunjukkan di atas, salah satu pengaruh utama adalah teknologi kinerja gerakan, yang memperluas lingkup bidang desain pembelajaran. Sebagai hasil dari gerakan ini, banyak desainer pembelajaran mulai lebih berhati-hati melakukan analisis tentang penyebab masalah kinerja, dan seringkali menemukan bahwa pelatihan miskin, atau kurangnya pelatihan, bukan penyebabnya. Dalam kasus seperti banyak desainer pembelajaran membekali solusi non-instruksional, seperti perubahan dalam sistem insentif atau dalam lingkungan kerja, untuk memecahkan masalah tersebut (Dean, 1995).
Faktor lain yang mempengaruhi lapangan selama 1990-an ada masukan yang tumbuh di konstruktivisme, kumpulan pandangan yang sama terhadap pembelajaran dan instruksi yang diperoleh meningkatnya popularitas sepanjang dekade. Itu, prinsip-prinsip pembelajaran yang terkait dengan konstruktivisme meliputi kebutuhan untuk (a) memecahkan masalah yang kompleks dan realistis, (b) bekerja sama untuk memecahkan masalah tersebut, (c) memeriksa masalah dari berbagai perspektif, (d) mengambil kepemilikan dari proses pembelajaran dan (e) menjadi sadar akan peran mereka sendiri dalam proses konstruksi pengetahuan (Driscoll. 2 (00). Selama dekade terakhir, pandangan konstruktivis pembelajaran dan pengajaran telah berdampak pada pikiran dan tindakan dari banyak teoretisi dan praktisi di bidang desain pembelajaran. Sebagai contoh, penekanan pada merancang konstruktivis “otentik:”. belajar tugas-tugas yang mencerminkan kompleksitas dari lingkungan dunia nyata di mana peserta didik akan ia menggunakan keterampilan yang mereka pelajari -memiliki efek pada bagaimana desain pembelajaran yang sedang dilakukan dan diajarkan (Dick. 1996). Meskipun beberapa berpendapat “tradisional” mengatakan bahwa praktek desain pembelajaran dan prinsip-prinsip konstruktivis yang beberapa tahun terakhir telah banyak menggambarkan bagaimana pertimbangan prinsip-prinsip konstruksi dapat meningkatkan instruksional desain praktek.
Selama tahun 1990-an, pertumbuhan yang cepat dalam penggunaan dan pengembangan sistem pendukung kinerja elektronik juga menyebabkan perubahan sakit dalam sifat pekerjaan yang dilakukan oleh banyak desainer pembelajaran. Mendukung kinerja elektronik sistem berbasis komputer dirancang untuk menyediakan para pekerja dengan bantuan kebutuhan untuk tugas-tugas pekerjaan, pada saat mereka membutuhkan bantuan itu dan dalam bentuk yang akan paling membantu. Nasihat cerdas sistem pembinaan dan ahli yang memberikan bimbingan dalam melakukan berbagai kegiatan, dan alat pendukung disesuaikan kinerja yang mengotomatisasi dan sangat menyederhanakan tugas-tugas pekerjaan banyak. Dengan menyediakan pekerja dengan kinerja alat dan informasi yang mereka butuhkan, yang dirancang dengan baik sistem kinerja elektronik pendukung dapat mengurangi kebutuhan untuk pelatihan. Hal ini tidak mengherankan, bahwa selama dekade terakhir, sejumlah organisasi pelatihan dan desainer pembelajaran berubah sebagian perhatian mereka jauh dari program-program pelatihan merancang dan menuju merancang sistem pendukung kinerja elektronik (Rosenberg. 2001).
Prototyping cepat telah tren memiliki efek pada praktek pembelajaran. Proses cepat prototyping cepat melibatkan mengembangkan produk prototipe dalam tahap sangat awal dari sebuah proyek desain pembelajaran dan kemudian akan melalui serangkaian ujicoba yang cepat dan siklus revisi sampai versi diterima dari produk yang dihasilkan (Gustafson & Cabang. 1997a). Teknik desain telah dianjurkan sebagai sarana memproduksi bahan-bahan pengajaran yang berkualitas. Selama tahun 1990-an, meningkat minat dalam prototyping cepat antara praktisi dalam bidang desain instruksional (misalnya, Gustafson & Cabang, 1997a).
Kecenderungan terbaru lain yang telah mempengaruhi profesi desain pembelajaran telah menjadi perhatian meningkat pesat dalam menggunakan Internet untuk pembelajaran jarak jauh. Sejak tahun 1995, telah terjadi peningkatan besar dalam penggunaan Internet untuk memberikan instruksi pada jarak (Bassi & Van Buren, 1999; Lewis, Salju, Farris, Levin, & Greene, 1999). Sebagai permintaan untuk program pembelajaran jarak jauh telah berkembang, sehingga memiliki pengakuan bahwa untuk menjadi efektif, program-program tersebut tidak dapat hanya menjadi on-line replika dari instruksi disampaikan dalam ruang kelas, melainkan, program tersebut harus hati-hati dirancang dalam terang fitur pembelajaran yang bisa, dan tidak bisa, akan dimasukkan ke dalam Internet berbasis program (Institut Kebijakan Pendidikan Tinggi, 2000).
Manajemen pengetahuan adalah salah satu tren terbaru telah mempengaruhi bidang desain pembelajaran. Menurut Rossett (1999, manajemen pengetahuan melibatkan mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menyebarkan pengetahuan eksplisit dan tacit dalam suatu organisasi dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi tersebut. Seringkali, pengetahuan yang berguna dan keahlian dalam suatu organisasi tinggal dengan individu tertentu atau kelompok, tetapi tidak banyak dikenal di luar kelompok atau individu. Namun, saat ini hari teknologi seperti program database, groupware, dan intranet memungkinkan organisasi untuk “mengelola” (yaitu, mengumpulkan, menyaring, dan menyebarkan) pengetahuan dan keahlian dalam cara-cara yang sebelumnya tidak mungkin. Rosenberg (2001) menjelaskan beberapa contoh tentang bagaimana atau-ganizations telah berubah beberapa perhatian mereka jauh dari program pelatihan merancang dan untuk menciptakan sistem manajemen pengetahuan. Rossett dan Donello (1999) menyarankan bahwa sebagai kepentingan dalam manajemen pengetahuan terus, tumbuh, dan pelatihan profesional lainnya akan bertanggung jawab tidak hanya untuk meningkatkan kinerja manusia, tetapi juga untuk menemukan dan memperbaiki akses terhadap pengetahuan organisasi yang bermanfaat. Jadi minat dalam manajemen pengetahuan adalah mungkin untuk mengubah dan mungkin memperluas jenis tugas desainer pembelajaran diharapkan untuk melakukan.











Kesimpulan
 Sejarah perkembangan Teknologi Pembelajaran ,beberapa para ahli menyebut dan  menjelaskan perkembangannya  ke dalam beberapa masa sejarah, diantaranya: Metoda kaum Sofi, metode Socrates,metode Aberald, metode Comenius, metode Lascartes,metode Friedrich Herbart,dll.  Perkembangan sejarah telah menunjukkan pergeseran penggunaan teknologi dari satu jenis  ke jenis lainnya. Mulai dari penggunaan media cetak hingga pada penggunaan  audiovisual,  perangkat televisi tersebut dan komputer.  Perkembangan teknologi yang meningkat juga ikut meningkatkan minat penggunaan media- media tersebut. Selama 25 tahun terakhir, telah terjadi peningkatan terhadap penggunaan perangkat audiovisual dalam pendidikan (Heinich et al .. 1982). pertumbuhan ini telah menjadi jelas khususnya selama tahun 1980 sebagai sekolah lebih menggunakan mikrokomputer untuk tujuan instruksional (Pusat Organisasi sosial sekolah 1983a). Namun, terlepas dari peningkatan penggunaan perangkat audiovisual tetap harus dijawab (Clarck, 1983, Petkovich, 1984, 1985)
Pendekatan sistem telah berhasil diterapkan dalam varietas  pengaturan instruksional (misalnya, Mager, 1977; Markle, 1977, Shoemarker, 1976:. Witherell et al, 1981), dan tampaknya akan mendapatkan penerimaan yang lebih luas, terutama di organisasi pelatihan (misalnya , Miles, 1983). Namun demikian, di Amerika Serikat sulit untuk menemukan deskripsi dari situasi di mana pendekatan sistem telah berhasil digunakan untuk memecahkan masalah pendidikan masyarakat. Individual instruksional,  seperti komputer, membantu instruksi, sistem personalisasi pembelajaran, dan pembelajaran untuk pendekatan penguasaan, sedang banyak digunakan dalam pengaturan instruksional. Teknologi instruksional didefinisikan sebagai perangkat audiovisual, pendekatan sistem, petunjuk individual, atau beberapa kombinasi dari konsep, memiliki beberapa dampak di lapangan.
Dalam bahasan ini dipisahkan antara sejarah media pembelajaran dan sejarah desain pembelajaran, ada perbedaan dalam kedua bidang tersebut. Banyak solusi pembelajaran melalui penggunaan proses desain pembelajaran memerlukan kerja media pembelajaran. Selain itu, banyak individu (misalnya, Clark, 1994; Kozma, 1994; Morrison, 1994; Reiser, 1994; Shrock, 1994) berpendapat bahwa penggunaan media yang efektif untuk tujuan pembelajaran membutuhkan perencanaan pembelajaran, seperti yang ditentukan oleh model desain pembelajaran. Di bidang desain pembelajaran dan teknologi, mereka yang bekerja dipengaruhi oleh pelajaran dari sejarah media dan sejarah desain pembelajaran akan posisi yang baik untuk memiliki pengaruh positif pada perkembangan masa depan dalam lapangan.





























DAFTAR PUSTAKA
Raiser Robert A. 2002. Trends and Issues in Instructional Design and Technology. New
Jersey: Leasson Education ,inc.

Dimyati, M. Moh. 2000. Akulturasi Teknologi Pendidikan dalam Masyarakat Indonesia Transisional. Malang: C.V. Wineka Media.

Sudjana Nana dan Rivai Ahmad.1997.Teknologi Pembelajaran. Bandung: Sinar Baru.

Anglin,Gary J. 1991. Instructional Technology: Past, Present, and Future .Colorado.
Libraries unlimited.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar