SEJARAH
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
I.
PENDAHULUAN
Teknologi
pembelajaran merupakan studi untuk memfasilitasi proses belajar mengajar dalam meningkatkan
kinerja melalui penciptaan,pengembangan,pengelolaan dan penilaian proses sumber untuk belajar.
Perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam lingkup teknologi pembelajaran
tentungya tidak terlepas dari sejarah asal mula lahirnya teknologi
pembelajaran. Konsep teknologi
pembelajaran bukanlah suatu hal yang baru dalam dunia pendidikan, konsep
yang mendasari teknologi pembelajaran
telah bekembang berabad-abad lamanya
dari hasil pemikiran dan konsep-konsep pengajaran sebelumnya.
Seiring dengan perjalanan sejarah perkembangan Teknologi pembelajaran,banyak
pendapat dan kejadian sejarah yang mendasari awal perkembangan Teknologi
Pembelajaran, terutama yang berkaitan dengan perkembangan instruksional. Untuk
itu penulis mencoba sedikit menguraikan kembali hal-hal yang berkaitan dengan sejarah perkembangan
Teknologi intruksional . Penulis menguraikan perkembangan teknologi
pembelajaran dimulai dari tinjauan
historis lahirnya teknologi pembelajaran,sejarah perkembangan instruksional,sejarah
desain dan media pembelajaran. karena hal- hal tersebut telah ikut mewarnai lingkup
perkembangan sepanjang perjalanan perubahan teknologi pembelajaran dari waktu lampau hingga sekarang.
Namun, perkembangan
menjadi sangat singkat jika dihitung
bagaimana jabatan dan pola pikir telah dibawa bersama sama untuk terciptanya bidang
galian dari teknologi pendidikan, peserta didik dari teknologi pendidikan
sepanjang tahun 1960 pada umumnya mengikuti salah satu dari dua jalur berikut
yaitu pendekatan Audio Visual atau belajar terprogram yang masing masing telah
dihubungkan dengan sejumlah kerangka konseptual yang sesuai dengan tujuan
pendidikan mereka. Gerakan terbentuknya teknologi pendidikan dimulai dari
proses pendidikan di lembaga keluarga, agama dan sekolah pada masyarakat eropa
(kemudian juga Amerika Serikat) yang bertransisi dari masyarakat agraris ke
masyarakat industri awal. Sejarah teknologi
pembelajaran sangat perlu diketahui seseorang untuk menjadi seorang yang
ahli dalam bidang pembelajaran dan
teknologi. Karena untuk menjadi ahli dalam bidang tertentu harus mampu memiliki
pengetahuan tentang perkembangan sejarah dalam bidang bersangkutan.
II.
PEMBAHASAN
A. SEJARAH
LAHIRNYA TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Konsep teknologi pembelajaran
bukanlah gejala baru di dalam dunia pendidikan dan latihan. Namun, sebenarnya konsep yang
mendasarinya telah berkembang sangat lama sekali. Sejarah perkembangan
Teknologi Pembelajaran ,beberapa para ahli menyebut dan menjelaskan perkembangannya ke dalam beberapa masa sejarah, diantaranya :
1. Metode
kaum sofi
Perkembangan dari berbagai
sejarah merupakan tanda dari lahirnya teknologi pembelajaran yang di kenal saat
ini.sekalipun dari latar belakang sejarahnya,metode pengajaran tidak didasarkan
atas ilmu pengetahuan seperti yang kita ketahui,dalam metode pengajaran
terkandung konsep- konsep yang mempengaruhi cara berpikir,bertindak,penelitian
dan pengembangan yang kemudian di kenal sebagai teknologi pembelajaran.
Beberapa pendidik pada masa
lampau, yaitu golongan Sofi di Yunani, para ahli pendidikan memandang menduga
kaum Sofi merupakan kaum teknologi pengajaran yang pertama. Mereka menyampaikan
pelajaran dengan berbagai cara dan teknik . mula mula mereka menyampaikan bahan
pelajaran yang telah disampaikan secara matang, kemudian mereka melanjutkan
dengan perdebatan yang dilakukan dengan secara bebas, pada saat itulah proses
kegiatan belajar itu berlangsung. Kemudian jika ada minat dari mayarakat untuk
belajar, akan dibuat kontrak dan untuk kemudian menjadi sistem tutor. Pandangan
ajaran kaum Sofi didasarkan atas;
1.
Bahwa manusia itu berkembang secara evolusi. Seorang
dapat berkembang dengan teratur tahap demi tahap menuju kepada peradaban yang
lebih tinggi. Melalui teknologilah permbeelajaran dapat diarahkan secara
efektif.
2. Bahwa proses evaluasi itu berlagsung terus,
terutama aspk-aspek moral dan hukum.
3. Sejarah
dipandang sebagai gerak perkembangan yang bersifat evousi dan berkelanjutan.di
dalam pengelolaan periswa kemanusiaan di alam raya.
4. Demokrasi
dan persamaan sebagai sikap masyarakat merupakan kaidah umum.
5. Bahwa
asas teori pengetahuan bersifat progresif, pragmatis, empiris dan behavioristik.
Gagasan kaum Sofi ini cukup
banyak mempengaruhi kurikulum di Eropa, misalnya penggunaan retorika,
dialektika, dan gramar sebagai materi utama dalam quadrivium dan trivium.
Sumbangan lain dari konsep- konsep kaum sofi
berkenaan dengan pemecahan masalah ilmu pengetahuan danseni yang
digabungkan menjadi techne atau teknologi.
2. Metode
Socrates
Bentuk pengajaran lebih ke dalam
bentuk berfilafat,tujuan filsafatnya ialah mencari kebenaran yang berlaku
mutlak. Socrates berpendapat bahwa kebenaran itu tetap -harus dicari,mencari
kebenaran itu dilakukan melalui tanya jawab. Metode yang -dipakainya disebut
dengan Maieutik atau menguraikan, yang sekarang dikenal dengan nama metoda
inkuiri atau penyelidikan. Pelaksanaannya berlangsung dengan cara give and take
of conversation. Metode Socrates dapat
diaplikasikan kepada suatu mata pelajaran tertentu,dengan mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tepat dan terarah sehingga siswa akan sampai kepada
jawaban yang benar,atau siswa bisa mempertunjukkan suatu teori yang belum
pernah dipelajari sebelumnya. Pada dasarnya Socrates mengajarkan tentang
mencari pengertian, yaitu suatu bentuk tetap dari sesuatu.
3.
Metode Abelard.
Metode Abelard ini berlangsung pada masa pemerintahan Karel Agung di Eropa. Metoda yang di pakai bertujuan untuk membentuk kelmpok pro dan kontra terhadap suatu materi. Guru tidak memberikan jawaban final tetapi siswalah yang akan -menyimpulkan dan merumuskan jawaban itu sendiri. Metoda ini biasa disebut dengan ‘ Sic et Non’ atau ya atau tidak. Aberard berasumsi bahwa setiap materi atau konsep bisa diuji oleh siswanya dalam upaya mencari pengertian,penyelidikan,serta mutunya.
Metode Abelard ini berlangsung pada masa pemerintahan Karel Agung di Eropa. Metoda yang di pakai bertujuan untuk membentuk kelmpok pro dan kontra terhadap suatu materi. Guru tidak memberikan jawaban final tetapi siswalah yang akan -menyimpulkan dan merumuskan jawaban itu sendiri. Metoda ini biasa disebut dengan ‘ Sic et Non’ atau ya atau tidak. Aberard berasumsi bahwa setiap materi atau konsep bisa diuji oleh siswanya dalam upaya mencari pengertian,penyelidikan,serta mutunya.
4. Metode
Johann Amos Comenius.
Sebagai seorang Ceko kelahiran Moravia, Comenius
mengalami masa jelek dalam belajar disekolahnya,cara penyampaian materi oleh
guru kurang baik,guru marah- marah saat mengajar, guru mengajar tanpa persiapan
dan tidak mempergunakan metode yang baik. Oleh karena hal yang dialaminya itu,
kemudian Comenius menetap di Lissa, Polandia.ia bertugas menjadi seorang guru
dan ia juga meuliskan karya tentang
Orbis Pictus (dunia dalam gambar),ini merupakan karyanya yang paling
baik yang merupakan aplikasi metode yang ditujukan kepada anak-anak dalam
mempelajari bahasa dan sains. Dalam pendidikan dan pengajaran comenius
mencontohkan kepada alam semesta (makrokomos) yang selalu berjalan secara
tertip menurut aturan tertentu. Manusia dianggap sebagai alam kecil
(mikrokosmos) harus menyesuaikan diri
dengan makrokosmos atau alam semesta. Comenius telah meletakkan dasar-dasar
pemahaman yang sistematis dalam proses belajar mengajar dan mengantisipasikan
nya secara meluas ke arah konsepsi modern dari teknologi pengajaran.
5.
Metoda Joseph Lancaster
Sistem pengajaran yang unik, meliputi pengorganisasian kelas, materi pelajaran sesuai dengan rencanannya yang meningkat dan dikelola secara ekonomis. Lancaster mempelajari konstruksi kelas khusus yang dapat mendayagunakan secara efektif penggunaan media pengajaran dan pengelompokan siswa. Dalam sistem pengajaran Lacaster, pemakaian media pengajaran masih sederhana. Seperti penggunaan pasir dalam melatih siswa menulis. Selanjutnya teks yang berasal dari buku teks di tulisdengan huruf besar- besar,lalu dipasang di tembok agar seluluh siswa dapat membacanya.
Sistem pengajaran yang unik, meliputi pengorganisasian kelas, materi pelajaran sesuai dengan rencanannya yang meningkat dan dikelola secara ekonomis. Lancaster mempelajari konstruksi kelas khusus yang dapat mendayagunakan secara efektif penggunaan media pengajaran dan pengelompokan siswa. Dalam sistem pengajaran Lacaster, pemakaian media pengajaran masih sederhana. Seperti penggunaan pasir dalam melatih siswa menulis. Selanjutnya teks yang berasal dari buku teks di tulisdengan huruf besar- besar,lalu dipasang di tembok agar seluluh siswa dapat membacanya.
6.
Metoda Johann Heinrich Pestalozzi.
Pengamatan pada alam merupakan landasan utama dari proses didaktiknya. Pengetahuan bermula dari adanya pengamatan , dan pengamatan menimbulkan pengertian. Selanjutnya pengertian yang baru itu menimbulkan pengertian,yang selanjutnya pengertian tersebut bergabung dengan yang lama untuk menjadi sebuah pengetahuan. Dan dapat dikatakan bahwa perintisan ke arah pendayagunaan perangkat keras atau hardware sebenarnya telah dimulai pada masa Pestazoli ini, seperti penciptaan papan aritmatik yang terbagi dalam kotak kotak yang di setiap kotaknya diberi garis-garis yang secara keseluruhan berjumlah 100 kotak kecil. Selain itu Pestalozi juga menciptakan stylabaries untuk melatih siswanya dalam mempelajri angka, bentuk, posisi dan warna desain.
Pengamatan pada alam merupakan landasan utama dari proses didaktiknya. Pengetahuan bermula dari adanya pengamatan , dan pengamatan menimbulkan pengertian. Selanjutnya pengertian yang baru itu menimbulkan pengertian,yang selanjutnya pengertian tersebut bergabung dengan yang lama untuk menjadi sebuah pengetahuan. Dan dapat dikatakan bahwa perintisan ke arah pendayagunaan perangkat keras atau hardware sebenarnya telah dimulai pada masa Pestazoli ini, seperti penciptaan papan aritmatik yang terbagi dalam kotak kotak yang di setiap kotaknya diberi garis-garis yang secara keseluruhan berjumlah 100 kotak kecil. Selain itu Pestalozi juga menciptakan stylabaries untuk melatih siswanya dalam mempelajri angka, bentuk, posisi dan warna desain.
7. Metoda
Friedrich W. Froebel.
Metode Froebel didasarkan kepada
metodologi dan pandangan filsafafnya yang intinya mengatakan bahwa pendidikan
masa kanak kanak merupakan hal paling penting untuk keseluruhan kehidupnnya.
Karena itulah Froebel mendirikan Kindergarten atau yang lebih dikenal dengan
Taman Kanak – kanak.Metode pengajaran Kindergasten dari Froebel meliputi
kegiatan-kegiatan berikut:
a. Bermain
dan bernyanyi
b. Membentuk
dengan melakukan kegiatan- kegiatan.
c. Grift
dan Occupation yang merupakan serangkaian materi pengajaran dalam dua macam
bentuk, yaitu memberikan gagasan (gift) kepada anak-anak dan memberikan
kegiatan (occupaion).kesatuan dari sejumlah besar
8.
Metoda Friedrich Herbart.
Pada praktek pendidikan Herbart terlihat adanya pengaruh Freobert terutama pada aspek pengembangan moral sebagai tujuan utama pendidikan. Metoda instruksionalnya didasarkan kepada ilmu jiwa yang sistematis. Teori Herbart membawa implikasi kepada guru yang tugas utamanya dalam mengajar harus membentuk apersepsi dengan cara menyampaikan mata- mata pelajaran dengan urutan gagasan yang benar. Dengan demikian siswa secara pikologis dibentuk oleh gagasan yang datang dari luar.
Pada praktek pendidikan Herbart terlihat adanya pengaruh Freobert terutama pada aspek pengembangan moral sebagai tujuan utama pendidikan. Metoda instruksionalnya didasarkan kepada ilmu jiwa yang sistematis. Teori Herbart membawa implikasi kepada guru yang tugas utamanya dalam mengajar harus membentuk apersepsi dengan cara menyampaikan mata- mata pelajaran dengan urutan gagasan yang benar. Dengan demikian siswa secara pikologis dibentuk oleh gagasan yang datang dari luar.
B. SEJARAH
PERKEMBANGAN INSTRUKSIONAL
Pengembangan instruksional diterapkan dengan sistem
pendekatan yang menerapkan prinsip- prinsip ilmiah yang didasarkan pada
perencanaan,desain pembuatan,pelaksanaan dan evaluasi instruksi yang efektif
dan efisien,berikut adalah penjabarannya:
1. Sebelum tahun 1920, lahirnya pengetahuan
empiris dasar pendidikan
Salah satu ide- ide dasar yang
mendukung pengembangan instruksional adalah ide desain instruksioanal,yaitu
gagasan dari prinsip- prinsip empiris dapat diterapkan untuk menghasilkan
instruksi yang efektif. Sekolah diarahkan pada tradisional dan tidak dibebani
olae pemeriksaann hasil yang sistematis. Kontribusi yang tercatat penting dalam
pergeseran konsep instruksi yaitu karya EL Thorndike di Universitas Columbia
yang paling berpengaruh (Baker,1973; Saettler,1968) khususnya penting dalam
bidang pengembangan intruksional.Sedangkan rincian dari teori Thorndike tidak
berdampak pada instruksional desain dewasa ini,yang di sebut “gambaran besar”
apa yang telah ia lakukan menandai banyaknya prinsip ID. Selain Thorndike sebagai sosok awal dalam upaya
membangun dasar pengetahuan manusia. Ada dua poin yang patut dicatat,pertama:
thorndike menemukan hukum minat dan advokasi keahlian sosial,gagasan
insruksional harus mengikuti prespesifid tujuan sosial yang berguna. Kedua: Thorndike
adalah seorang shli dalam pengukuran pendidikan,alat penelitrian dan bidangnya
merupakan hal yang sangat penting dalam pengembangan pendidikan sebagai suatu
ilmu(Snelbekker,1974). Ide-idenya yang mendasar memungkinkan untuk pengembangan
ID (instructional desain).
2. Tahun
1920-an: Tujuan
Bobbitt (1918),sekolah harus
memberikan pengalaman khusus yang terkait dengan kegiatan sesuai dengan
tuntutan masyarakat.selain itu ia berpikir bahwa tujuan sekolah berasal dari
analisis ketrampilan objektif yang diperlukan untuk hidup sukses. Asumsi
Bobbitt,Thorndike dan lainnya,kurikulum merupakan hal yang aktual dan
intruksilah yang berusaha menerapkan prinsip-prinsip tujuan driven-learning,hal
ini dikenal sebagai instruksi invidual.Perencanaan tidak hanya diarahkan pada keteladanan,
instruksional, koreksi workbook,tetapi juga diarahkan pada diagnostik dan tes
administrasi yang dapat digunakan untuk menentukan apakah siswa siap untuk
pengujian oleh guru. Setelah mengikuti tes yang diberikan oleh guru,berikutnya
siswa diberikan tugas baru(Saettler,1968). Perencanaan Dalton,yang dikembangkan
oleh Parkhurst,perencanaan tersebut diaplikasikan pada sekolah anak-anak cacat
dengan tujuan meningkat mutu pendidikan. Rencana pembelajaran individual pada
tahun 1920-an ini memberikan alasan
untuk pengembangan lanjutan bagi rancangan insruksional berikutnya.
3. Tahun
1930-an: Tujuan prilaku dan evaluasi
formatif
Kemajuan kearah penciptaan
sistem instruksional melambat selama tahun 1930-an ini(Baker,1973:Raiser,1987).
selama tahun ini Ralph W.Tyler memulai karyanya yang menbuat ia terkenal,
tinjauan kerjanya yaitu dibidang evolusi pengembangan instruksional.
Pengembangan instruksional dilakukan dengan alasan,pertama adalah penelitian
dilakukan untuk memperbaiki prosedur tujuan instruksional. Alasan kedua adalah
untuk memastikan kurikulum telah diimplementasikan sebagaimana yang telah
direncanakan. Oleh karenanya,tujuan dan penilaiannya digunakan untuk merevisi
demi penyempurnaan kurikulum dengan tujuan memproduksi tingkat prestasi yang
sesuai. Dalam pengembangan instruksiaonal hal tersebut dianggap sebagai
evaluasi formatif.
4. Tahun
1940-an: Media instruksional,penelitian dan pengembangan
Perang dunia ke II menjadikan
masalah instruksional menjadi meluas: ribuan personil militer harus dilatih
dengan cepatuntuk melakukan berbagai tugas –tugas penting untuk keberlangsungan
kehidupan mereka dalam upaya peperangan. Respon terhadap masalah instruksional
berdampak luas pada evolusi pengembangan instruksional(Olsen dan Bass,1982:
Saettler,1968). Kepedulian pemerintah terhadap kebutuhan yang mendesak untuk
penciptaandan distribusi ribuan film pelatihan perang yang diadakan di wilayah
pendidikan militer Amerika Serikat. Dalam upaya kebutuhan tersebut menghasilkan film suara, filmstrip,dan berbagai media lainnya. Banyak
orang –orang di sewa untuk diberaikan pelatihan militer pada saat itu.
Penalitian dalam bidanhg pelatihan militer ini merupakan contoh dari upaya yang
dilakukan untuk pencapaian tujuan pendidikan. Perkembangan lainnya dari instruksional
adalah munculnya peran teknologi pembelajaran selama pembuatan film pelatihan
militer.
5. Tahun
1950-an: program instruksi dan analisis tugas.
Selama tahun 1950-an ini
beberapa ide yang muncul sebelumnya telah disempurnakan dan dipopulerkan.
Disamping pengembangan instruksional proses analisis untuk desain instruksional
tumbuh lebih canggih pada dekade ini,pada masa ini juga terjadi kemajuan dalam
prosedur analisis yang penting untuk penciptaan instruksi. Istilah analisis
tugas pada awal tahun 1950-an ini,
pertama kali digunakan oleh angkatan udara, untuk mengantisipasi pekertjaan
yang membutuhkan peralatan baru yang sedang dikembangkan (Miller,1962). Miller
merupakan tokoh awal yang mengembangkan prosedur analisis tugas yang kemudian
diaplikasikan pada militer.
6. Tahun
1960-an: Sistem pengembangan instruksional.
Pada dekade 1960-an ini bidang
pengembangan instruksional berkembang begitu pesat. Sistem instruksional yang
dirancang dengan tujuan mengahasilkan prestasi yang perspektif,penilaian
membutuhkan tes yang dapat menafsirkan kompetensi yang dikuasai secara
spesifik. Pada tahun 1960-an ini militer dengan cepat menanamkan pengembangan
sistem instruksional kedalam standar prosedur pelatihan mereka. Kecendrungan
yang penting lainnya,serta mempengaruhi pengembangan instruksional dimulai pada
tahun 1960-an. Kalangan pemimpin instruksional pendidikan,terutama ahli media
mulai aktif melobi untuk memperluas bidang media Audio Visual(AV), instruksi
untuk merangkul konsep ysng lebih besar terhadap pengembangan instruksional dan
teknologi (Schuller, 1986).
7. Tahun
1970-an: model ID dan kematangan
Tahun 1970-an adalah dekade
konsolidasi,pengembangan instruksional memperoleh perlengkapan profesi sebagai
ID (desain instruksional) dan praktisi berusaha mengidentifikasi serta memberi
gambaran secara menyaluruh terhadap proses yang mereka anjurkan. Model ID tidak
lagi hanya dimulai dengan pernyataan tujuan, proses analisis dimasukkan untukj
membantu dalam menentukan apa yang menjadi tujuan dari sistem instruksional
yang seharusnya. Pada tahun ini program pendidikan Pasca Sarjana berfokus pada
pertumbuhan desain instruksional dan asosiasi profesional yang ada diarahkan
untuk mengakomodasi bidang kegiatan baru. Departemen NEA instruksi Audio Visual
menjadi Asosiasi Independen untuk Komunikasi
Pendidikan dan Teknologi, penghimpunan nasional untuk program instruksi
menjadi penghimpunan nasional untuk kinerja dan instruksi. Menjelang akhir
tahun 1970-an Divisi AECT untuk
pengembangan instruksional mendirikan sebuah lembaga jurnal pengembangan
instruksional.
8. Tahun
1980-an: mikrokomputer dan teknologi kinerja.
Pada tahun 1980-an ini munculnya
mikrokomputer dan adopsi cepat tehadap
pengembangan sistem instruksional oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Aplikasi instruksional
mikrokomputer telah mendominasi banyak literatur desain instruksional. Sebagian
menganggap ini merupakan teknologi tinggi sebagai tambahan untuk desain
instruksional,alat ideal untuk penelitian belajar manusia. Tahun 1980-an telah
memperlihatkan pertumbuhan luar biasa dalam memanfaatkan pengembangan instruksional oleh
perusahaan-perusahaan atau agensi-agensi non lembaga sekolah lainnya.
Lingkungan tersebut telah membantu memperluas pengembangan konsep sistem
teknologi kinerja. Teknologi kinerja terdiri dari teknologi instruksional,namun
penggabungan desain non instruksional merupakan solusi yang baik untuk masalah
kinerja manusia. Perluasan dan aplikasi teknologi kinerja ini juga baik di luar
bidang sekolah dan bahkan pentingnya konsep sistem ini diperluas untuk
pengembangan instruksional masa depan
masih harus diperhatikan.
C. PERKEMBANGAN
TEKNOLOGI PENDIDIKAN
Analisis sosiologis dan
psikologi ilmu pengetahuan mrnunjukkan bahwa (1)timbulnya suatu ilmu
pengetahuan disebabkan oleh adanya kondisi luar,kondisi objektif, kondisi
matyerial masyarakat dan, (2) timbulnya suatu ilmu pengetahuan di sebabkan oleh
kondisi batin, kondisi subyektif, atau kondisi psikologis dalam masyarakat.
Kondisi sosiologis dan psikologis berkenaan dengan timbulnya ilmu pengetahuan
tersebut terungkap pada dalam masyarakat Eropa pada akhitr abad pertengahan.
Masyarakat Eropa memasuki abad modern dengan pembentukan berbagai berbagi disiplin ilmu otonom “melepaskan diri”
dari pikiran- pikiran tradisional dan pemikiran kefilsatan. Hal ini terjadi
pada abad 16- 20-an serta hingga kini ( Machmurray, John.1939: 9-45; Dahler,
Franz dan Chandra, Julius. 1993: 96- 98). Disiplin ilmu yang dibentuk tersebut
digunakan untuk memecahkan masalah masyarakat yang objektif, dan pemecahan
didasarkan atas keilmuan yang berorientasi pada kemajuan masyarakat. Dalam hal
ini masyarakat indonesia yang bergerak berubah menjadi masyarakat industri.
Disiplin ilmu bernama “
Teknologi Pendidikan atau Teknologi Pembelajaran ” memiliki latar belakng sejarah yang komplek,
unik dan multi dimensi. Sebagai istilah di indonesia, teknologi pendidikan
merupakan terjemahan dari istilah “ Educational Technology (ET)“ dan “ instructional technology (IT)”.
Teknologi pendidikan (ET atau IT) terbentuk dalam waktu cukup lama , sesuai
dengan kemajuan teknologi. Perjalanan teknologi pendidikan tersebut secara
historis dapat diikuti jejaknya dari pendidikan Yng dioselenggarakan di lembaga
sekolah oleh “golongan paura” (kaum
burger) yang menjadikan masyarakat industri sejak abad 16. Pendidikan yang dilaksakan dalam masyarakat
bersumber dari praktek pendidikan di
lembaga keluarga, lembaga agama, dan lembaga sekolah pada masyarakat
Eropa (kemudian juga Amerika).
Secara historis menurut Robert A, Reiser ( Gagne Robert M. 1987: 11-40)
bidang yang di sebut instructional
technologi berdasarkan kemajuan peralatan audiovisual, pendekatan sistem dan
individualisasi pengajaran. Berbagai penelitian, ahli dan temuan- temuan di
tiga bidang tersebut memberi sumbangan pada terbentuknya ET atau IT. Pada
bidang Audiovisual ditemukan seperti buku teks bergambaryang dikemukakan oleh
comenius, sebagai rintisan pengajaran.
Belajar berdasarkan objek kongkrit yang dikemukakan oleh Pestalozzi, ia juga
mengemukakan pentingnya jadwal belajar di sekolah. Pada saat itu alat timbul
lima organisasi profesional dibidang audiovisual di Amerika Serikat, pada tahun
1920-1930-an alat-alat teknik seperti gambar hidup , slide , radio, perekam
suara, diproduksi secara komersial dan menopang gerakan pengajaran visual
menjadi pengajaran audiovisual yang menghabiskan dana lebih dari lima puluh
miliar.
Pada tahun-tahun ini Departemen
Pengajaran Visual dan National Education
Association (yang berdiri pada tahun
1923) berganti nama menjadi Association
for Educational Communication and Technologi (AECT ) tahun 1932 dan memimpin gerakan
audiovisual. Kemudian tahun 1946 Edgar Dale mengemukakan idenya yang terkenal
dengan “ Cone of Experience” . Selama gerakan perang dunia pengajaran
audiovisual di sekolah melemah, tetapi alat- alat audiovisual secara meluas
digunakan untuk keperluan militer dan industri. Pemerintah AS menghasilkan 457
film pelatihan industri, membeli 55.000 proyektor slide untuk pendidikan
militer dan karyawan industri. Sesudah
perang dunia kedua, sekitar tahun 1950-an telivisi memasuki kehidupan dan minat terhadap
telivisi untuk pengajaran meluas. Penelitian tentang penggunaan televisi
dilakukan dengan bantuan Ford Foundation sebesar lebih dari 170 million dollar.
Kegiatan produksi alat-alat audiovisual oleh industri, pemggunaannya di sekolah
, kepentingan militer pada saat perang, pelatihan –pelatihan industri, dan
penelitian tentang penggunaan alat audiovisual
menjadikan bidang ET atau IT menjadi suatu disiplin ilmu, suatu organisasi berjaringan luas yang meliputi
dunia industri, militer, dan
perrsekolahan beroriantasi industrial yang didukung oleh organisasi
profesional.
D. SEJARAH
MEDIA DAN DESAIN PEMBELAJARAN
Bidang
desain instruksional dan teknologi meliputi analisis masalah belajar dan kinerja,
serta desain, pengembangan, implementasi, evaluasi dan pengelolaan proses
pembelajaran dan sumber daya yang dimaksudkan agar dapat meningkatkan
pembelajaran dan kinerja dalam berbagai pengaturan, lembaga pendidikan
khususnya dan tempat kerja. Profesional di bidang desain instruksional dan
teknologi sering menggunakan prosedur desain instruksional yang sistematis dan
menggunakan berbagai media pembelajaran untuk mencapai tujuan yang ditentukan.
Selain itu, dalam beberapa tahun terakhir, mereka telah meningkatkan perhatian yang
dihadapkan untuk solusi non-instruksional terhadap beberapa masalah belajar dan
kinerja. Penelitian dan teori yang terkait dengan masing-masing masalah
tersebut juga merupakan bagian penting dalam bidang desain instruksional dan
teknologi.
Selama
bertahun-tahun, dua praktek-penggunaan sistematis prosedur desain
instruksional dan penggunaan media untuk tujuan-instruksional telah
membentuk inti dari bidang desain instruksional dan teknologi . Dari perspektif
sejarah, sebagian besar praktek yang berkaitan dengan media pembelajaran telah
terjadi perkembangan yang berhubungan dengan bidang desain instruksional. Oleh
karena itu sejarah dari masing-masing kedua praktek tersebut, akan dijelaskan secara terpisah. Hal ini juga
harus dicatat bahwa meskipun banyak peristiwa penting dalam sejarah bidang
desain instruksional dan teknologi yang telah terjadi di negara-negara lain, penekanan
yang menjadi sumber utama bahasan sejarah
yakni tentang peristiwa yang telah terjadi di Amerika Serikat.
Sejarah Media Pembelajaran
Istilah
media pembelajaran telah didefinisikan sebagai sarana fisik melalui instruksi
yang disajikan kepada peserta didik (Reiser & Gagnt. 1983). Berdasarkan
definisi tersebut, setiap fisik berarti
pengiriman instruksional, dari instruksi hidup, buku, komputer dan sebagainya,
akan diklasifikasikan sebagai media instruksional. Dalam sebagian besar sejarah
media pembelajaran, tiga sarana utama instruksi sebelum abad kedua puluh dan
masih merupakan cara paling umum saat ini yaitu guru, papan tulis, dan buku
teks. Ketiga itu telah dikategorikan secara terpisah dari media lain (ef. Komisi
Instructional Technology, 1970). Dengan demikian, media pembelajaran akan
didefinisikan sebagai sarana fisik, selain guru, papan tulis, dan buku teks,
melalui instruksi yang disajikan kepada peserta didik.
Museum
sekolah
Di Amerika
Serikat, penggunaan media untuk tujuan pembelajaran telah terditeksi kembali
setidaknya sebagai awal dekade pertama abad kedua puluh (Saettler, 1990). Pada
saat itu telah ada sebuah museum sekolah. Saettler (1968) telah
mengindikasikan, museum ini menjabat sebagai unit administrasi pusat untuk
instruksi visual dengan distribusi mereka dari pameran museum , stereograf
[foto tiga-dimensi], slide, film, cetakan studi, grafik, dan bahan
instruksional. Museum sekolah pertama dibuka di St Louis pada tahun 1905,yang
menggelar pameran tentang beberapa
peralatan, yakni streograph, slide, film, studi cetak, grafik dan bahan
pengajaran lainnya. dan tidak lama kemudian, museum sekolah dibuka di Reading,
Pennsylvania, dan Cleveland, Ohio. Meskipun beberapa museum tersebut telah
berdiri sejak awal 1900-an, daerah pusat terbesar media dapat dianggap modern.
Saettler
(1990) juga menyatakan bahwa bahan yang disimpan di museum sekolah dipandang
sebagai bahan pelengkap kurikulum. Mereka tidak dimaksudkan untuk menggantikan
guru atau buku teks. Sepanjang seratus tahun terakhir, pandangan awal tentang
peran media pembelajaran tetap lazim di komunitas pendidikan pada umumnya.
Artinya,
banyak pendidik telah melihat media pembelajaran sebagai sarana pelengkap dalam
menyajikan instruksi. Sebaliknya, guru dan buku teks umumnya dipandang sebagai
sarana utama menyajikan instruksi, dan guru biasanya diberikan kewenangan untuk
memutuskan penggunaan media pembelajaran
lain dan apa yang akan mereka lakukan. Selama bertahun-tahun, sejumlah
profesional di bidang desain instruksional dan teknologi (misalnya, Heinich,
1970) berpendapat terhadap gagasan ini, menunjukkan bahwa
(a)
guru harus dilihat pada kedudukan yang sama dengan media instruksional, sebagai
hanya salah satu dari banyak kemungkinan berarti untuk menyajikan instruksi,
(b)
guru tidak boleh diberikan otoritas tunggal untuk memutuskan media pembelajaran
yang apa yang akan digunakan di ruang kelas. Namun, dalam komunitas pendidikan
yang luas, pandangan ini tidak begitu disukai.
Gerakan
Visual Instruksi dan Film Instruksional
Seperti
Saettler (1990) telah mengindikasikan, di awal abad kedua puluh, kebanyakan
media yang disimpan di museum sekolah media visual, seperti film, slide, dan
foto. Jadi pada saat itu, meningkatnya minat dalam menggunakan media di sekolah
itu disebut sebagai “instruksi visual” atau “pendidikan visual” gerakan.
Istilah terakhir ini digunakan setidaknya 1908, ketika diterbitkan Perusahaan
Tampilkan Keystone Visual Pendidikan, panduan guru untuk slide lentera dan
stereograf.
Selain
lentera ajaib (lentera proyektor slide) dan stereopticons (Stereograf pemirsa),
yang digunakan di beberapa sekolah selama paruh kedua abad kesembilan belas
(Anderson, 1962), gerakan gambar proyektor adalah salah satu perangkat media
pertama digunakan di sekolah-sekolah. Di Amerika Serikat, katalog pertama film
instruksional diterbitkan pada 1910. Setelah 1910, sistem sekolah publik
Rochester, New York, menjadi yang pertama untuk mengadopsi film instruksional
untuk penggunaan biasa. Pada tahun 1913, Thomas Edison menyatakan, “Buku akan
segera menjadi usang di sekolah-sekolah …. Hal ini dimungkinkan untuk mengajar
setiap cabang pengetahuan manusia dengan gerak gambar sistem sekolah kami akan
benar-benar berubah dalam sepuluh tahun mendatang.” (Dikutip di Saettler,, 1968
hlm 98).
Sepuluh
tahun setelah Edison membuat perkiraan-nya, apa yang ia ramalkan tidak terjadi.
Namun, selama dekade ini (1914-1923), gerakan instruksi visual tidak tumbuh.
Lima organisasi profesional nasional untuk instruksi visual didirikan, lima
jurnal berfokus pada instruksi visual yang mulai diterbitkan, lebih dari dua
puluh lembaga-lembaga pelatihan guru mulai menawarkan program dalam instruksi
visual, dan setidaknya dua belas kota
besar, sekolah mengembangkan sistem biro visual pendidikan (Saettler , 1990).
Gerakan
Audiovisual Instruksi dan Radio Instruksional
Diakhir
tahun 1920 dan sepanjang tahun 1930-an, kemajuan teknologi di berbagai bidang
seperti siaran radio, rekaman suara, dan gambar gerak suara menyebabkan
meningkatnya minat dalam media pembelajaran. Dengan munculnya media yang
menggabungkan suara, gerakan instruksi memperluas visual yang dikenal sebagai
gerakan instruksi audiovisual (Finn, 1972; McCluskey, 1981). Namun, McCluskey
(1981), yang merupakan salah satu pemimpin dalam bidang tersebut selama periode
ini, menunjukkan bahwa sementara lapangan terus tumbuh, komunitas pendidikan
pada umumnya tidak sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan tersebut. Dia menyatakan
bahwa tahun 1930, kepentingan komersial dalam gerakan instruksi visual yang
telah menginvestasikan dan kehilangan lebih dari $ 50 juta, dan hanya bagian
dari kerugian itu karena Depresi Besar, yang dimulai pada tahun 1929.
Terlepas
dari efek ekonomi yang merugikan akibat Depresi Besar, audiovisual dalam
gerakan konstruksi terus berkembang. Menurut Saettler (1990), salah satu
peristiwa paling penting dalam evolusi ini adalah penggabungan pada tahun 1932
dari tiga organisasi yang ada profesional nasional untuk instruksi visual.
Sebagai hasilnya, kepemimpinan dalam gerakan itu dikonsolidasikan dalam satu
organisasi, Departemen Instruksi Visual, yang pada saat itu merupakan bagian
dari National Education Association. Selama bertahun-tahun, organisasi ini,
yang diciptakan pada tahun 1923 dan sekarang disebut Asosiasi untuk Pendidikan
Komunikasi dan Teknologi, telah mempertahankan peran kepemimpinan dalam bidang
desain instruksional dan teknologi.
Selama tahun
1920-an dan 1930-an, sejumlah buku pada topik pembelajaran visual ditulis.
Mungkin yang paling penting dari buku teks adalah Visualisasi Kurikulum, yang
ditulis oleh Charles F. Hoban, Sr, Charles F. Hoban, Jr, dan Stanley B. Zissman
(1937). Dalam buku ini, penulis menyatakan bahwa nilai materi audiovisual
adalah fungsi derajat realisme. Para penulis juga menyajikan hirarki media,
mulai dari hadirnya konsep-konsep dengan cara abstrak bagi mereka yang memungkinkan
untuk representasi sangat konkret (Heinich, Molenda, Russell, & Smaldino,
1999). Beberapa ide-ide ini sebelumnya telah dibicarakan oleh orang lain tetapi
belum ditangani secara menyeluruh. Pada tahun 1946, Edgar Dale kemudian
dijabarkan lebih lanjut pada ide-ide ketika dia mengembangkan “Pengalaman Cone.” Sepanjang sejarah
audiovisual dalam gerakan konstruksi, banyak telah menunjukkan bahwa bagian
dari nilai bahan audiovisual adalah kemampuan mereka untuk menyajikan
konsep-konsep secara konkret (Saettler, 1990).
Sebuah media
yang mendapat perhatian besar selama periode ini adalah radio. Pada awal
1930-an, penggemar audiovisual banyak yang mengelu-elukan radio sebagai media
yang akan merevolusi pendidikan. Misalnya, mengacu pada potensi instruksional radio,
film, dan televisi, editor publikasi untuk Asosiasi Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa “suatu hari mereka akan seperti buku dan kuat dalam efek
mereka pada belajar dan mengajar” (Morgan , 1932, hlm ix). Namun, bertentangan
ini, melalui radio dua puluh tahun ke depan memiliki dampak yang sangat sedikit
pada praktek instruksional (Kuba, 1986).
Perang Dunia II
Dengan
terjadinya Perang Dunia II, pertumbuhan gerakan audiovisual di sekolah-sekolah
melambat, namun, perangkat audiovisual yang digunakan secara luas dalam
pelayanan militer dan dalam industri meningkat. Sebagai contoh, selama perang,
Angkatan Darat Amerika Serikat Angkatan Udara menghasilkan film pelatihan lebih
dari 400 dan 6G0 filmstrips, dan selama periode dua tahun (dari pertengahan
1943 sampai pertengahan 1945), diperkirakan bahwa lebih dari empat juta
pertunjukan film pelatihan untuk personel militer AS. Meskipun ada sedikit
waktu dan kesempatan untuk mengumpulkan data mengenai dampak dari film pada
kinerja personil militer, beberapa survei instruktur militer mengungkapkan
bahwa mereka percaya bahwa film pelatihan dan filmstrips yang digunakan selama
perang itu trainintools efektif (Saettler , 1990). Setidaknya beberapa musuh
telah disepakati; pada tahun 1945, setelah perang berakhir, Kepala Staf Umum
Jerman mengatakan, “Kami memiliki segalanya dihitung sempurna kecuali kecepatan
Amerika mampu melatih orang-orang yang salah perhitungan utama meremehkan
penguasaan mereka cepat dan lengkap pendidikan film “(dikutip dalam Olsen &
Bass, 1982, hal 33)
Selama
perang, film-film pelatihan juga memainkan peran penting dalam mempersiapkan
warga sipil di Amerika Serikat untuk bekerja dalam bidang industri. Pada tahun
1941, pemerintah federal membentuk Divisi Visual Aids untuk Pelatihan Perang.
Dari tahun 1941 sampai 1945, organisasi ini mengawasi produksi film 457
pelatihan. Kebanyakan direksi pelatihan melaporkan bahwa film mengurangi waktu
pelatihan tanpa memiliki dampak negatif pada efektivitas pelatihan dan bahwa
film lebih menarik dan menghasilkan absensi kurang dari program pelatihan
tradisional (Saettler, 1990).
Selain
film-film pelatihan dan proyektor film, berbagai bahan dan peralatan
audiovisual lainnya yang bekerja dalam militer dan bidang industri selama
Perang Dunia II. Perangkat yang digunakan secara luas termasuk proyektor
overhead, yang pertama kali dihasilkan selama perang; proyektor slide, yang
digunakan dalam mengajar pengakuan pesawat dan kapal: peralatan audio, yang
digunakan dalam mengajar bahasa asing: dan simulator dan perangkat pelatihan,
yang dipekerjakan dalam pelatihan penerbangan (Olsen & Bass, 1982 Saettler,
1990).
Pasca Perang
Dunia II Perkembangan dan Media Penelitian
Perangkat
audiovisual yang digunakan selama Perang Dunia II secara umum dianggap sukses
dalam membantu Amerika Serikat memecahkan masalah utama pelatihan: bagaimana
melatih yang efektif dan efisien dengan
latar belakang individu yang beragam. Sebagai hasil dari keberhasilan nyata,
setelah perang ada minat baru dalam menggunakan perangkat audiovisual di
sekolah-sekolah (Finn. 1972: Olsen & Bass, 1982). Dalam dekade setelah
perang, beberapa program penelitian audiovisual intensif dilakukan. Studi
penelitian yang dilakukan sebagai bagian dari program ini, dirancang untuk
mengidentifikasi bagaimana berbagai fitur, atau atribut, bahan audiovisual yang
terkena pembelajaran, tujuan untuk mengidentifikasi atribut yang akan
memfasilitasi pembelajaran dalam situasi tertentu. Misalnya, satu program
penelitian, yang dilakukan di bawah arahan ArthurA. Lumsdaine, difokuskan pada
identifikasi bagaimana belajar dipengaruhi oleh berbagai teknik untuk
memunculkan respon siswa terbuka selama menonton Film instruksional (Lumsdaine,
1963).
Pasca-Perang
Dunia II program penelitian audiovisual adalah upaya terkonsentrasi pertama
untuk mengidentifikasi prinsip-prinsip belajar yang dapat digunakan dalam
desain bahan audiovisual. Namun, praktik-praktik pendidikan tidak terlalu
dipengaruhi oleh program-program penelitian bahwa praktisi utama mengabaikan
atau tidak dibuat sadar banyak temuan penelitian (Lumsdaine. 1963. 1964).
Sebagian
besar penelitian media yang telah dilakukan selama bertahun-tahun dibandingkan
seberapa banyak siswa telah belajar, setelah menerima pelajaran yang disajikan
melalui media tertentu, seperti film, televisi, radio, atau komputer, versus
berapa banyak siswa telah belajar dari hidup instruksi pada topik yang sama.
Studi jenis ini, sering disebut studi media perbandingan, biasanya
mengungkapkan bahwa siswa belajar sama baiknya terlepas dari sarana presentasi
(Clark, 1983, 1994; Schramm, 1977). Mengingat temuan ini, kritikus penelitian
tersebut telah menyarankan bahwa fokus studi tersebut harus berubah. Beberapa
berpendapat bahwa peneliti harus fokus pada atribut (karakteristik) media
(Levie & Dickie, 1973), yang lain menyarankan pemeriksaan bagaimana media
mempengaruhi pembelajaran (Kozma, 1991, 1994), dan yang lainnya telah
menyarankan bahwa fokus penelitian harus pada metode pengajaran, bukan pada
media yang memberikan metode-metode (Clark, 1983, 1994). Dalam beberapa tahun
terakhir, beberapa jenis studi telah menjadi lebih umum.
Teori
Komunikasi
Selama awal
1950-an, banyak pemimpin dalam gerakan nstruksi audiovisual menjadi tertarik
pada berbagai teori atau model komunikasi, seperti model yang diajukan oleh
Shannon dan Weaver (1949). Model ini berfokus pada proses komunikasi, sebuah
proses yang melibatkan pengirim dan penerima pesan dan saluran, atau media,
melalui mana pesan yang dikirim. Para penulis model ini menunjukkan bahwa
selama perencanaan untuk komunikasi, maka perlu untuk mempertimbangkan semua
unsur dari proses komunikasi dan tidak hanya fokus pada media, karena banyak di
bidang audiovisual cenderung untuk melakukan. Sebagai Berlo (1963) menyatakan,
“Sebagai orang komunikasi saya harus berpendapat kuat bahwa itu adalah proses
yang sentral dan bahwa media meskipun penting, adalah hal sekunder” (hal. 378).
Beberapa pemimpin dalam gerakan audiovisual, seperti Dale (1953) dan Finn
(1954), juga menekankan pentingnya proses komunikasi. Meskipun pada awalnya, praktisi
audiovisual tidak dipengaruhi oleh
gagasan (Lumsdaine. 1964; Mcierhenry, 1980), dari sudut pandang ekspresi akhirnya
membantu untuk memperluas fokus gerakan audiovisual (Ely, 1963, 1970; Silber,
1981 ).
Televisi
Pembelajaran
Mungkin faktor
yang paling penting mempengaruhi gerakan audiovisual pada 1950-an adalah
meningkatnya minat dalam televisi sebagai media untuk memberikan instruksi.
Sebelum tahun 1950-an, telah terjadi sejumlah kasus di mana televisi telah
digunakan untuk tujuan instruksional (Gumpert, 1967; Taylor, 1967). Selama tahun
1950-an, terjadi pertumbuhan yang luar biasa dalam penggunaan televisi
pembelajaran. Pertumbuhan ini dirangsang oleh dua faktor utama.
Salah satu
faktor yang mendorong pertumbuhan televisi pembelajaran adalah keputusan tahun
1952 oleh Komisi Komunikasi Federal untuk menyisihkan 242 saluran televisi
untuk tujuan pendidikan. Keputusan ini menyebabkan perkembangan pesat sejumlah
besar masyarakat (kemudian disebut “pendidikan”) stasiun televisi. Pada tahun
1955, ada tujuh belas stasiun seperti di Amerika Serikat, dan pada tahun 1960,
jumlah itu meningkat menjadi lebih dari lima puluh (Blakely, 1979). Salah satu
misi utama dari stasiun-stasiun ini adalah presentasi dari program
pembelajaran. Hezel (1980) menunjukkan,
“Peran mengajar telah dianggap berasal dari penyiaran publik. Terutama sebelum
tahun 1960-an, pendidikan penyiaran dipandang cepat dan efisien, berarti murah
untuk memuaskan kebutuhan pembelajaran bangsa” (hal. 173).
Pertumbuhan
televisi pembelajaran selama tahun 1950 juga didukung oleh dana yang disediakan
oleh Ford Foundation. Diperkirakan bahwa selama tahun 1950-an dan 1960-an,
yayasan dan lembaga yang menghabiskan lebih dari $ 170.000.000 untuk televisi
pendidikan (Gordon, 1970). (Di
Indonesia juga ada televisi pendidikan. Yaitu di era 1970-an. Pada era itu
disiarkan program ACIL). Proyek yang disponsori oleh yayasan termasuk
sistem televisi sirkuit tertutup digunakan untuk memberikan instruksi dalam
semua bidang subjek utama di semua tingkatan kelas di seluruh sistem sekolah di
Washington County (Hagerstown), Maryland, sebuah kurikulum SMP sampai
universitas yang disajikan melalui televisi publik di Chicago, sebuah program
penelitian eksperimental skala besar dirancang untuk menilai efektivitas dari
serangkaian program kuliah yang diajarkan melalui televisi sirkuit tertutup di
Pennsylvania State University, dan Program Midwest pada Instruksi televisi
Airborne, sebuah program yang dirancang secara bersamaan tentang pelajaran
televisi untuk sekolah di enam negara.
Pada
pertengahan 1960-an, banyak kepentingan dalam menggunakan televisi untuk tujuan
instruksional mereda. Banyak proyek-proyek televisi pembelajaran yang
dikembangkan selama periode ini berjalan
singkat. Masalah ini sebagian karena kualitas pembelajaran biasa-biasa saja
dari beberapa program yang dihasilkan, banyak dari mereka tidak lebih daripada
saat seorang guru memberikan kuliah. Pada tahun 1963, Ford Foundation memutuskan
untuk memfokuskan dukungan pada televisi publik secara umum, daripada aplikasi televisi instruksional di sekolah (Blakely,
1979). Banyak sekolah menghentikan demonstrasi proyek televisi pembelajaran
karena dana eksternal untuk proyek-proyek dihentikan (Tyler. 1975b).
Pemrograman pembelajaran masih merupakan bagian misi penting dari televisi publik, tapi misi sekarang lebih
luas, meliputi jenis pemrograman lain, seperti presentasi budaya dan informasi
(Hezel, 1980). Banyak alasan yang telah diberikan, mengapa televisi
pembelajaran tidak diadopsi untuk tingkat yang lebih besar. Ini termasuk
resistensi guru untuk penggunaan televisi di ruang kelas mereka, biaya
instalasi dan pemeliharaan sistem televisi di sekolah, dan ketidakmampuan
televisi sendiri memberikan penyajian
yang memadai terhadap berbagai kondisi
yang diperlukan untuk kepentingan belajar siswa(Gordon, 1970; Tyler , 1975b).
Pergeseran
Terminologi
Pada awal
1970-an, istilah teknologi pendidikan dan teknologi pembelajaran mulai
menggantikan instruksi audiovisual sebagai istilah yang digunakan untuk
menggambarkan aplikasi media untuk tujuan pembelajaran. Sebagai contoh, pada
tahun 1970, nama organisasi profesional utama dalam bidang itu diubah dari Departemen
Audiovisual Instruksi kepada Asosiasi untuk Komunikasi dan Teknologi Pendidikan
(AECT). Kemudian dalam dekade tersebut, nama dari dua jurnal yang diterbitkan
oleh AECT juga berubah: Tinjauan Komunikasi Audiovisual menjadi Komunikasi
Pendidikan dan Jurnal Teknologi, dan Instruksi Audiovisual menjadi Inovator
Instruksional. Selain itu, kelompok yang dibentuk pemerintah AS untuk memeriksa
dampak media instruksi disebut Komisi Instructional Technology. Terlepas dari
terminologi, bagaimanapun, sebagian besar individu di lapangan sepakat bahwa
sampai saat itu, media pembelajaran telah memiliki dampak minimal pada
praktek-praktek pendidikan (Komisi Instructional Technology, 1970; Kuba, 1986)
Komputer:
Dari tahun 1950-an sampai 1995-an
Setelah
minat di televisi pembelajaran memudar, inovasi teknologi berikutnya untuk
memberi perhatian sejumlah besar pendidik adalah komputer. Meskipun minat yang
luas dalam komputer sebagai alat instruksional tidak terjadi sampai tahun
1980-an, komputer pertama kali, digunakan dalam pendidikan dan pelatihan.
Banyak karya awal di komputer-dibantu instruksi (CAI) dilakukan pada tahun 1950
oleh peneliti di IBM, yang mengembangkan bahasa CAI. Penulisan pertama dan
dirancang salah satu program CAI pertama untuk digunakan di sekolah-sekolah
umum. Pelopor lain di daerah ini termasuk Gordon Pask, yang adaptif mesin
mengajar memanfaatkan teknologi komputer (Lewis & Pask, 1965; Pask, 1960;
Stolorow & Davis, 1965), dan Richard Atkinson dan Patrick Suppes, yang
bekerja selama tahun 1960 menyebabkan beberapa aplikasi CAI awal di kedua
sekolah publik dan tingkat universitas (Atkinson & Hansen, 1966; Suppes
& Macken, 1978). Upaya besar lain selama 1960-an dan awal 1970-an termasuk
pengembangan sistem CAI seperti PLATO dan TICCIT. Namun, meskipun pekerjaan
yang telah dilakukan, pada akhir 1970-an, CAI sedikit berdampak pada pendidikan (Pagliaro, 1983).
Pada awal
1980-an, beberapa tahun setelah mikrokomputer tersedia untuk masyarakat umum,
antusiasme terhadap alat ini menyebabkan meningkatnya minat dalam menggunakan
komputer: untuk tujuan pembelajaran. Pada Januari 1983, komputer sedang
digunakan untuk tujuan pembelajaran lebih
dari 40% dari semua sekolah dasar dan lebih dari 75% dari semua sekolah
menengah di Amerika Serikat (Pusat Organisasi Sosial Sekolah, 1983).
Banyak
pendidik yang tertarik terhadap mikrokomputer meskipun harganya yang relatif mahal,
cukup serentak dalam penggunaan desktop, dan bisa melakukan banyak fungsi melalui
penggunaan komputer . Seperti masalah penggunaan media lain, baru pertama kali
diperkenalkan ke dalam lingkup pembelajaran, diharapkan bahwa media ini akan
berdampak besar pada praktek pembelajaran. Sebagai contoh, pada tahun 1984.
Papert menunjukkan bahwa komputer akan menjadi “katalis yang sangat mendalam dan
radio perubahan dalam sistem pendidikan” (hal. 422) dan pada tahun 1990,
peranan komputer akan menjadi bagian umum dalam urusan di sekolah-sekolah Amerika Serikat.
Meskipun
komputer akhirnya dapat memiliki dampak besar pada praktek pembelajaran di sekolah,
pada pertengahan 1990-an, memiliki dampak kecil. Survei mengungkapkan bahwa
pada 1995, meskipun sekolah-sekolah di Amerika Serikat yang dimiliki,
rata-rata, satu komputer untuk sembilan siswa, dampak komputer pada praktek
pembelajaran sangat minim, dengan sejumlah besar guru pelaporan penggunaan
sedikit atau tidak ada komputer untuk tujuan instruksi. Selain itu, dalam
banyak kasus, penggunaan komputer jauh dari inovatif. Di sekolah dasar, guru
melaporkan bahwa komputer sedang digunakan terutama untuk bidang praktek; pada tingkat menengah, laporan
menunjukkan bahwa komputer terutama
digunakan untuk mengajar
keterampilan yang berkaitan dengan komputer seperti pengolah kata (Anderson
& Ronnkvi1999; Becker, 1998; Kantor Technology Assessment, 1995)
Perkembangan
terbaru
Sejak tahun
1995, kemajuan pesat dalam komputer dan teknologi digital lainnya, serta
Internet, telah menyebabkan minat yang meningkat pesat, dan penggunaan media. Untuk tujuan pembelajaran, khususnya dalam
pelatihan bisnis dan industri. Sebagai contoh, sebuah survei terbaru dari lebih
dari 750 perusahaan pelatihan industri (Bassi & Van Buren, 1999)
mengungkapkan bahwa persentase dari pelatihan yang disampaikan melalui
teknologi baru seperti CD-ROM, intranet, dan internet meningkat dari kurang
dari 6% di tahun 1996 menjadi lebih dari 9% pada tahun 1997 dan diperkirakan
akan meningkat menjadi lebih dari 22% pada tahun 2000. Survei lain baru-baru
ini melaporkan bahwa pada tahun 1999, 14% dari semua pelatihan formal
disampaikan melalui komputer (“Industri Laporan 1999″, 1999).
Dalam
beberapa tahun terakhir, minat dalam menggunakan Internet untuk tujuan
pembelajaran juga telah berkembang pesat dalam pendidikan tinggi dan militer.
Sebagai contoh, antara 1994-95 dan 1997-98 tahun akademik, pendaftaran dalam
kursus-kursus belajar jarak jauh di lembaga pendidikan tinggi di Amerika
Serikat hampir dua kali lipat, dan persentase institusi yang menawarkan program
pembelajaran jarak jauh meningkat dari 33% menjadi 44%, dengan 78% dari publik
empat tahun lembaga yang menawarkan program tersebut. Selain itu, sedangkan
pada tahun 1995, hanya 22% dari lembaga pendidikan tinggi menawarkan program
pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi internet berbasis asynchronous,
pada tahun 1997-98 akademik, 60% dari lembaga melakukannya (Lewis. Salju,
Farris, Levin, & Greene, 1999). Dalam militer, pada tahun 2000, Sekretaris
Angkatan Darat AS mengumumkan bahwa 5600000000 akan dihabiskan selama enam
tahun ke depan untuk memungkinkan tentara untuk mengambil kursus pendidikan
jarak jauh melalui Internet (Carr, 2000).
Sejak tahun
1995, ada juga peningkatan yang signifikan dalam jumlah teknologi yang tersedia
di sekolah-sekolah di Amerika Serikat. Sebagai contoh, hasil survei nasional
1998 (Anderson & Ronnkvist, 1999) mengungkapkan bahwa sementara pada tahun
1995 rata-rata ada satu komputer untuk setiap sembilan siswa, pada tahun 1998
rasio tersebut telah dikurangi menjadi satu komputer untuk setiap enam siswa.
Selain itu, persentase sekolah yang memiliki akses Internet meningkat dari 50%
pada 1995 menjadi 90% pada tahun 1998. Namun,. sebagaimana telah terjadi
sepanjang sejarah media pembelajaran, peningkatan hadirnya teknologi di sekolah-sekolah
tidak selalu berarti meningkatan penggunaan teknologi untuk tujuan pembelajaran.
Anderson & Ronnkvist (1999) juga menyatakan bahwa meskipun jumlah komputer
di sekolah telah meningkat, sebagian besar komputer yang cukup terbatas dalam
hal perangkat lunak yang mereka jalankan. Selanjutnya, mereka menunjukkan bahwa
meskipun sebagian besar sekolah sekarang memiliki akses Internet, akses Internet
terbatas di banyak sekolah, dengan beberapa siswa mampu menggunakannya pada
sekolah mereka. Pengamatan ini membuat sulit untuk memastikan sejauh mana
praktik pembelajaran di sekolah-sekolah telah dipengaruhi oleh adanya
peningkatan media.
Terlepas
dari ketidakpastian tentang sejauh mana penggunaan media di sekolah, sebagian
besar bukti yang dikutip jelas menunjukkan bahwa sejak tahun 1995, telah
terjadi peningkatan yang signifikan dalam penggunaan media pembelajaran dalam
berbagai pengaturan, mulai dari bisnis dan industri untuk pendidikan militer
dan lebih tinggi. Dalam bisnis, industri, dan militer, Internet telah dilihat
sebagai sarana memberikan instruksi dan informasi untuk pelajar tersebar luas
dengan biaya yang relatif rendah. Selain itu, dalam banyak kasus, aksesibilitas
komputer yang mudah memungkinkan peserta didik untuk menerima dukungan
instruksi dan / atau kinerja (seringkali dalam bentuk sistem pendukung kinerja
elektronik atau sistem manajemen pengetahuan) kapan dan di mana mereka
membutuhkannya, karena mereka melakukan tugas-tugas pekerjaan tertentu.
Dalam
pendidikan tinggi, pendidikan jarak jauh melalui Internet telah dilihat sebagai
metode rendah biaya menyediakan instruksi untuk siswa yang, karena berbagai
faktor (misalnya, pekerjaan dan tanggung jawab keluarga jarak geografis.),
Tidak mungkin sebaliknya telah mampu menerimanya. Namun, pertanyaan tentang
efektivitas-biaya dari instruksi tersebut masih belum terjawab (Hawkridge. 1999).
Alasan lain
bahwa media baru yang digunakan untuk tingkat yang lebih besar mungkin karena
peningkatan kemampuan interaktif dari media. Moore (1989) menjelaskan tiga
jenis interaksi antara agen yang biasanya terlibat dalam kegiatan pembelajaran.
Interaksi ini antara peserta didik dan konten pembelajaran, antara pelajar dan
instruktur, dan di antara pembelajar sendiri. Sifat media pembelajaran yang
umum selama beberapa bagian dari ketiga dua yang pertama, dari abad lalu (e.,
.. film dan televisi pembelajaran) dipekerjakan terutama sebagai sarana
memiliki peserta didik berinteraksi dengan isi pembelajaran . Sebaliknya,
melalui penggunaan fitur seperti e-mail, chat room dan bulletin board, Internet
sering digunakan sebagai sarana untuk peserta didik dengan instruktur dengan
pelajar lain, serta dengan konten instruksional. Ini adalah salah satu contoh
bagaimana beberapa media baru membuatnya lebih mudah untuk mempromosikan,
berbagai jenis interaksi yang digambarkan oleh Moore.
Selain itu, kemajuan dalam teknologi komputer,
khususnya berkaitan dengan meningkatkannya kemampuan multimedia media ini,
membuat lebih mudah bagi pendidik untuk merancang pengalaman belajar yang
melibatkan interaksi antara peserta didik lebih konten pembelajaran daripada
sebelumnya. Misalnya, seperti jumlah dan jenis informasi yang dapat disajikan
oleh komputer telah meningkat, jenis umpan balik serta jenis masalah, yang
dapat disajikan kepada peserta didik telah sangat diperluas. Kemampuan ini
meningkatkan pembelajaran menjadi menarik perhatian banyak pendidik. Selain
itu, kemampuan komputer untuk menyajikan informasi dalam berbagai bentuk, serta
memungkinkan peserta didik untuk mudah link ke berbagai konten, telah menarik
minat perancang pembelajaran memiliki perspektif konstruktivis. Orang yang
sangat peduli dengan penyajian masalah otentik (mis. “dunia nyata”) dalam
lingkungan belajar di mana peserta didik memiliki banyak kontrol atas kegiatan
yang mereka terlibat dalam dan alat-alat dan sumber daya yang mereka gunakan,
menemukan teknologi digital yang baru lebih akomodatif daripada pendahulunya.
Seperti
beberapa contoh dalam beberapa paragraf sebelumnya menunjukkan, bahwa dalam
beberapa tahun terakhir komputer, Internet. dan teknologi digital lainnya
sering digunakan untuk meningkatkan pembelajaran dan kinerja melalui beberapa
cara non-tradisional. Sebagai contoh, sistem kinerja komputer dibantu dukungan
elektronik. sistem manajemen pengetahuan, dan pelajar-berpusat lingkungan
belajar sering berfungsi sebagai alternatif untuk pelatihan atau instruksi
langsung. Ketika dampak masa kini media pembelajaran sedang dipertimbangkan,
jenis aplikasi tidak boleh diabaikan.
Kesimpulan
Mengenai Sejarah Media Instruksional
Dari banyak
pelajaran yang dapat kita pelajari dengan meninjau sejarah media pembelajaran,
mungkin salah satu yang paling penting melibatkan perbandingan antara efek
diantisipasi dan aktual media pada praktek instruksional. Sebagai mana Kuba
(1986) telah menunjukkan, saat kita meninjau-melihat kembali selama abad
terakhir dari sejarah media, Anda mungkin perlu diperhatikan pola berulang dari
harapan dan hasil. Sebagai media baru memasuki adegan pendidikan, ada banyak
minat awal dan antusiasme banyak tentang efek kemungkinan untuk memiliki pada
praktek instruksional. Namun, antusiasme dan ketertarikan akhirnya memudar, dan
pemeriksaan mengungkapkan bahwa media memiliki dampak minimal terhadap praktek
tersebut. Misalnya, prediksi optimis Edison bahwa film akan merevolusi
pendidikan terbukti tidak benar, dan antusiasme untuk televisi instruksional
yang ada selama tahun 1950 sangat berkurang pada pertengahan tahun 1960-an,
dengan dampak kecil pada instruksi di sekolah. Kedua contoh melibatkan
penggunaan media di sekolah-sekolah, pengaturan di mana penggunaan media
pembelajaran telah paling erat diperiksa. Namun, data mengenai penggunaan media
pembelajaran dalam bisnis dan industri mendukung kesimpulan serupa, yaitu,
bahwa meskipun antusiasme tentang penggunaan media pembelajaran dalam bisnis
dan industri, sampai saat ini media yang memiliki dampak minimal terhadap
praktik pembelajaran dalam lingkungan tersebut.
Bagaimana
dengan prediksi, pertama dibuat pada 1980-an, bahwa komputer akan merevolusi
instruksi? Sebagai data dari sekolah mengungkapkan, pada pertengahan 1990-an,
bahwa revolusi tidak terjadi. Namun, data dari paruh kedua dekade menunjukkan
kehadiran berkembang, dan mungkin penggunaan, komputer dan internet di sekolah.
Selain itu, selama akhir 1990-an, media ini mengambil peran dukungan semakin
besar dalam pembelajaran dan kinerja dan juga dalam pengaturan lainnya seperti
bisnis dan industri dan pendidikan tinggi. Apakah dampak media pada instruksi
lebih besar di masa depan daripada itu telah di masa lalu?
Berdasarkan
alasan tersebut untuk meningkatnya penggunaan media baru, adalah wajar untuk
memperkirakan bahwa selama dekade berikutnya, komputer, internet, dan media
digital lainnya akan membawa perubahan besar dalam praktek instruksional dari
media yang mendahului mereka. Namun, mengingat sejarah media dan dampaknya pada
praktik pembelajaran, adalah juga wajar untuk mengharapkan bahwa perubahan
tersebut, baik di sekolah dan pengaturan instruksional lainnya, cenderung
terjadi lebih lambat dan kurang luas daripada media yang paling penggemar saat
ini memprediksi.
Sejarah
Desain Pembelajaran
Seperti
disebutkan sebelumnya, selain erat kaitannya dengan media pembelajaran, bidang
desain pembelajaran dan teknologi juga telah berhubungan erat dengan penggunaan
sistematis prosedur desain pembelajaran. Berbagai set prosedur yang sistematis
desain instruksional (atau model) telah dikembangkan dan telah dirujuk oleh
istilah-istilah seperti pendekatan sistem, sistem desainpembelajaran (ISD)
pengembangan pembelajaran, dan desain pembelajaran. Meskipun kombinasi spesifik
dari prosedur sering bervariasi dari satu model desain pembelajaran ke model
berikutnya, sebagian besar model termasuk analisis masalah pembelajaran dan
desain, pengembangan, implementasi dan evaluasi prosedur instruksi dan materi
yang bertujuan untuk memecahkan masalah tersebut. Bagaimana proses desain
pembelajaran muncul menjadi ada? Bahasan ini akan fokus pada menjawab
pertanyaan itu.
Asal Usul
Desain Pembelajaran: Perang Dunia II
Asal-usul prosedur desain pembelajaran telah ditelusuri pada Perang Dunia
II (Dick, 1987). Selama perang, sejumlah besar psikolog dan pendidik yang
memiliki pelatihan dan pengalaman dalam melakukan penelitian eksperimental
dipanggil untuk melakukan penelitian dan mengembangkan bahan pelatihan untuk
layanan militer. Individu-individu ini, termasuk Robert Gagne. Leslie Briggs,
John Flanagan, dan banyak lainnya, memberikan pengaruh yang cukup besar pada
karakteristik bahan-bahan pelatihan yang dikembangkan, banyak mendasarkan
pekerjaan mereka pada prinsip-prinsip pembelajaran berasal dari penelitian dan
teori instruksi, belajar, dan perilaku manusia (Baker, 1973; Saettler, 1990)
Selain itu,
psikolog menggunakan pengetahuan mereka tentang evaluasi dan pengujian untuk
membantu menilai keterampilan peserta pelatihan dan memilih orang yang paling
mungkin bermanfaat dari program pelatihan tertentu. Sebagai contoh, pada satu
titik dalam perang, tingkat kegagalan dalam program pelatihan penerbangan
khusus ini sangat tinggi. Untuk mengatasi masalah ini, psikolog memeriksa
keterampilan intelektual, psikomotor dan persepsi umum dari individu yang
berhasil melakukan keterampilan yang diajarkan dalam program, dan kemudian tes
dikembangkan yang diukur sifat-sifat ini. Tes ini digunakan untuk menyaring
calon-calon untuk program ini, orang-orang yang mencetak sedang diarahkan ke
program lain. Sebagai hasil dari menggunakan pemeriksaan keterampilan masuk
sebagai perangkat skrining, militer mampu secara signifikan meningkatkan
persentase personil yang berhasil menyelesaikan program (Gagne, komunikasi
pribadi, 1985).
Setelah
perang, banyak psikolog yang bertanggung jawab atas keberhasilan program
pelatihan Dunia II Perang militer terus bekerja pada pemecahan masalah
pembelajaran. Organisasi seperti Institut Amerika untuk Penelitian yang
estiablished untuk tujuan ini. Selama 1940-an dan sepanjang 1950-an, psikolog
yang bekerja untuk organisasi tersebut dimulai melihat pelatihan sebagai suatu
sistem, dan mengembangkan sejumlah analisis yang inovatif, desain, dan prosedur
evaluasi (Dick, 1987). Sebagai contoh. selama periode ini, tugas metodologi
analisis rinci dikembangkan oleh Robert B. Miller sementara ia bekerja pada
proyek-proyek untuk militer (Miller. 1953. 1962). Pekerjaannya dan orang-orang
dari pionir awal lain di bidang desain instruksional dirangkum dalam Prinsip
Psikologis dalam Sistem Dei’elopmenr, diedit oleh Gagne (1962b).
Awal
Perkembangan:
Gerakan
Programmed Instruksi
Gerakan
instruksi diprogram, yang berlangsung dari pertengahan 1950-an melalui
pertengahan 1960-an, terbukti menjadi faktor utama dalam pengembangan
pendekatan sistem. Pada tahun 1954, pasal BF Skinner berjudul Ilmu dan Seni
Belajar Mengajar memulai apa yang bisa disebut sebuah revolusi kecil dalam
bidang pendidikan. Dalam artikel ini dan yang kemudian (misalnya, Skinner,
1958), Skinner menggambarkan ide-idenya tentang persyaratan untuk belajar
manusia meningkat dan karakteristik yang diinginkan dari bahan instruksional
yang efektif. Skinner menyatakan bahwa bahan tersebut, yang disebut bahan
pembelajaran diprogram, harus menyajikan instruksi dalam langkah-langkah kecil,
memerlukan respon aktif untuk pertanyaan yang sering dipertanyakan, memberikan
umpan balik segera, dan memungkinkan untuk pelajar diri mondar-mandir. Selain
itu, karena setiap langkah kecil, ia berpikir bahwa peserta didik akan menjawab
semua pertanyaan dengan benar dan dengan demikian secara positif diperkuat oleh
umpan balik yang mereka terima.
Proses yang
Skinner (lih. Lumsdaine & Glaser, 1960) dijelaskan untuk mengembangkan
instruksi diprogram dicontohkan suatu pendekatan empiris untuk memecahkan
masalah pendidikan: Data mengenai efektivitas bahan dikumpulkan, kelemahan
diidentifikasi pembelajaran, dan bahan direvisi sesuai . Selain itu percobaan
dan prosedur revisi, yang kini disebut evaluasi formatif, proses untuk mengembangkan
bahan diprogram melibatkan banyak langkah yang ditemukan dalam model desain
instruksional saat ini. Sebagai Heinich (1970) menunjukkan:
Instruksi
terprogram telah dikreditkan oleh beberapa dengan memperkenalkan pendekatan
sistem untuk pendidikan. Dengan menganalisis dan mogok konten ke tujuan
perilaku tertentu, merancang langkah-langkah yang diperlukan untuk mencapai
tujuan, menyiapkan prosedur untuk mencoba dan merevisi langkah-langkah, dan
memvalidasi program terhadap pencapaian tujuan, instruksi program berhasil
menciptakan instruksi kecil tapi efektif dari sistem pembelajaran teknologii.
(Hal. 123)
Para
Popularisasi Tujuan Perilaku
Sebagaimana
ditunjukkan, yang terlibat dalam merancang bahan pembelajaran diprogram sering
kali memulai dengan mengidentifikasi tujuan peserta didik tertentu yang
menggunakan bahan-bahan diharapkan untuk mencapai tujuan. Pada tahun 1962,
Robert Mager mengenali kebutuhan untuk mengajar para pendidik bagaimana menulis
tujuan, menulis, mempersiapkan tujuan untuk tindakan terprogram. Bahasan ini
menjelaskan bagaimana untuk menulis tujuan yang mencakup deskripsi perilaku
peserta didik yang diinginkan, kondisi di mana perilaku harus dilakukan, dan
standar (kriteria) dengan mana perilaku harus dinilai. Masa kini banyak penganut
proses desain pembelajaran menganjurkan persiapan tujuan yang mengandung ketiga
unsur.
Meskipun
Mager mempopulerkan penggunaan tujuan, konsep itu dibahas dan digunakan oleh
pendidik setidaknya selama awal 1900-an. Di antara pendukung awal penggunaan tujuan
jelas dinyatakan adalah Bobbitt, Charters, dan Burk (Gagne, 1965a). Namun,
Ralph Tyler sering dianggap sebagai bapak dari gerakan tujuan perilaku. Pada
tahun 1934, ia menulis bahwa tujuan harus didefinisikan dalam istilah yang
menentukan perilaku saja harus membantu mengembangkan (dikutip dalam Walbesser
& Eisenberg, 1972). Selama studi Delapan Tahun yang terkenal yang diarahkan
Tyler bahwa ditemukan bahwa sekolah ketika tidak menetapkan tujuan, tujuan
tersebut biasanya cukup jelas. Pada akhir proyek, bagaimanapun, itu menunjukkan
bahwa tujuan bisa diklarifikasi dengan menyatakan bahwa tujuan bisa berfungsi
sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas instruksi (Borich, 1980; Tyler,
1975a).
Pada tahun
1950, tujuan perilaku diberi dorongan lain ketika Benjamin Bloom dan
rekan-rekannya menerbitkan Taksonomi Tujuan Pendidikan (1956). Para penulis
dari karya ini menunjukkan bahwa dalam domain kognitif ada berbagai jenis hasil
belajar, bahwa tujuan dapat diklasifikasikan menurut jenis perilaku peserta didik
yang dijelaskan di dalamnya, dan bahwa ada hubungan hirarki antara berbagai
jenis hasil. Selain itu, mereka menunjukkan bahwa tes harus dirancang untuk
mengukur masing-masing jenis hasil. Sebagaimana akan dilihat dalam bahasan ini,
gagasan yang sama dijelaskan oleh pendidik lainnya memiliki implikasi
signifikan untuk desain instruksi yang sistematis.
Kriteria-Referensi
Gerakan Pengujian
Pada awal
1960-an, faktor lain yang penting dalam pengembangan proses desain pembelajaran
adalah munculnya kriteria-referensi pengujian. Sampai saat itu, tes yang
palingmengacu pada tes norma, dirancang untuk menyebarkan kinerja peserta
didik, sehingga dalam beberapa siswa baik-baik pada tes dan orang lain
melakukan buruk. Sebaliknya, tes yang mengacu pada kriteria ini dimaksudkan
untuk mengukur seberapa baik seorang individu dapat melakukan perilaku tertentu
atau seperangkat perilaku, terlepas dari bagaimana orang lain juga melakukan.
Pada awal 1932, Tyler telah menunjukkan bahwa tes Bisa digunakan untuk tujuan
tersebut (Dale. 1967). Dan kemudian, Flanagan (1951) dan Ehel (1962)
mendiskusikan perbedaan antara tes tersebut dan ukuran norma. Namun, Robert
Glaser (1963:. Glaser & Klaus 1962) adalah orang pertama yang menggunakan
istilah kriteria. Dalam membahas langkah-langkah tersebut. Glaser (1963)
menunjukkan bahwa dapat digunakan untuk menilai perilaku siswa dan untuk
menentukan sejauh mana siswa telah memperoleh perilaku program pembelajaran
dirancang untuk mengajar.
Robert M.
Gagne: Domain Belajar, Acara Instruksi, dan Analisis Hirarkis
Peristiwa
penting lainnya dalam sejarah desain instruksional terjadi pada tahun 1965,
dengan penerbitan edisi pertama The Conclirions off Belajar, ditulis oleh
Robert Gagne (I965b). Dalam buku ini, Gagne menggambarkan lima domain, atau
jenis, pembelajaran hasil dan informasi lisan, keterampilan intelektual,
keterampilan psikomotor, sikap, dan kognitif strategi, masing-masing yang
dibutuhkan berbeda kondisi masing-masingnya untuk meningkatkan pembelajaran.
Gagne juga memberikan deskripsi rinci dari kondisi-kondisi untuk setiap jenis
hasil pembelajaran.
Dalam volume
yang sama, Gagne juga menggambarkan peristiwa sembilan instruksi, atau kegiatan
mengajar, bahwa ia dianggap penting untuk mempromosikan pencapaian dari setiap
jenis hasil belajar. Gagne juga menggambarkan kejadian pembelajaran yang secara
khusus penting untuk hasil dan membahas keadaan di mana peristiwa tertentu
dapat dikecualikan. Dalam edisi keempat (Gagne, 1985). Deskripsi Gagne tentang
berbagai jenis hasil pembelajaran dan peristiwa instruksi tetap dari praktek
desain pembelajaran.
Gagne
bekerja di bidang hierarki belajar dan hirarkis analisis juga memiliki dampak
yang signifikan pada bidang desain pembelajaran. Pada awal 1960-an dan kemudian
karirnya (misalnya,-Gagne, 1962a, 1985; Gagne, Briggs, & Wager, 1992; Gagne
& Medsker, 1996), Gagne menunjukkan bahwa keterampilan dalam domain
keterampilan intelektual memiliki hubungan hirarkis masing-masing: agar mudah
belajar melakukan keterampilan superordinate, yang pertama harus menguasai
keterampilan bawahan untuk itu. Konsep ini mengarah pada gagasan penting yang
harus dirancang sehingga untuk memastikan bahwa peserta didik memperoleh
keterampilan bawahan sebelum mereka mencoba untuk memperoleh yang lebih tinggi.
Gagne melanjutkan untuk menggambarkan proses analisis hirarkis untuk
mengidentifikasi keterampilan bawahan. Proses ini tetap merupakan fitur kunci
dalam banyak model desain pembelajaran.
Sputnik:
Launching Langsung Evaluasi Formatif
Pada tahun
1957, ketika Uni Soviet meluncurkan Sputnik, satelit yang mengorbit ruang
pertama, serangkaian acara yang akhirnya berdampak besar pada proses desain
pembelajaran. Pemerintah AS, terkejut oleh keberhasilan upaya Soviet,
menanggapi dengan menuangkan jutaan dolar ke dalam memperbaiki matematika dan
pendidikan sains di Amerika Serikat. Bahan-bahan pembelajaran yang dikembangkan
dengan dana ini biasanya ditulis materi pelajarannnya ditulis oleh dan
diproduksi tanpa seleksi. Bertahun-tahun kemudian, pada pertengahan-I960-an,
ketika ditemukan bahwa banyak dari bahan-bahan ini tidak terlalu efektif,
Michael Scriven (1967) menunjukkan perlunya untuk mencoba rancangan materi
pembelajaran dengan peserta didik sebelum bahan dimasukkan ke dalam bentuk
akhir. Proses ini akan memungkinkan pendidik untuk memeriksa bahan dan jika
perlu, merevisinya sementara bahan masih dalam stases formatif. Scriven sebut
ini uji coba dan revisi proses evaluasi formatif dan membandingkannya dengan
apa yang ia sebut evaluasi sumatif, pengujian bahan instruksional setelah mereka
dalam bentuk terakhir mereka.
Meskipun
istilah formatif dan evaluasi sumatif evaluasi yang diciptakan oleh Scriven,
perbedaan antara pendekatan sebelumnya dibuat oleh Lee Cronbach (1963). Selain
itu, selama 1940-an dan 1950-an, sejumlah pendidik, seperti Arthur Lumsdaine,
Mark Mei. dan CR Carpenter, dijelaskan prosedur untuk mengevaluasi bahan
pengajaran yang masih dalam tahap pembentukan (Cambre, 1981). Namun, meskipun
tulisan-tulisan seperti pendidik, sangat sedikit dari produk pembelajaran yang
dikembangkan pada 1940-an dan 1950-an melewati apapun proses evaluasi formatif.
Situasi ini agak berubah pada 1950-an dan 1960-an melalui banyak bahan
pengajaran terprogram yang dikembangkan selama periode yang diuji ketika mereka
sedang dikembangkan. Namun. penulis seperti Susan Markle (1967) mencela
kurangnya ketelitian dalam proses pengujian. Dalam terang masalah ini. Prosedur
ini mirip dengan teknik evaluasi formatif dan sumatif yang umumnya seperti saat
kini.
Permulaan
Model Ddesain Pembelajaran
Pada awal dan
pertengahan 1960-an, konsep-konsep yang sedang dikembangkan di berbagai bidang
seperti analisis tugas, spesifikasi tujuan, dan kriteria-referensi pengujian
yang dihubungkan bersama untuk membentuk sebuah proses, atau model, untuk
secara sistematis mendesain materi pembelajaran. Di antara individu-individu
pertama untuk menggambarkan model seperti itu Gagne (1962b). Glaser (1962
1965.), Dan Silvem (1964). Mereka menggunakan istilah-istilah seperti desain
pembelajaran, pengembangan sistem, instruksi yang sistematis, dan sistem
pembelajaran untuk menggambarkan model yang mereka ciptakan. Model desain
pembelajaran lainnya yang diciptakan dan digunakan selama dekade ini termasuk
yang dijelaskan oleh Banathy (1968), Barson (1967), dan Hamerus (1968).
Tahun 1970:
Kepentingan yang berkembang dalam Desain Instuctional
Selama tahun
1970, jumlah model desain pembelajaran sangat meningkat. Bangunan pada
karya-karya orang terdahulu, banyak orang menciptakan model baru untuk secara
sistematis merancang instruksi (misalnya, Dick & Carey, 1978; Gagne &
Briggs, 1974; Gerlach & Ely, 1971; Kemp, 1971). Memang, oleh er.J dekade,
lebih dari empat puluh model seperti telah diidentifikasi (Andrews & Bagus,
1980).
Selama tahun
1970-an, minat dalam proses desain pembelajaran berkembang dalam berbagai
sektor yang berbeda. Pada tahun 1975, beberapa cabang dari militer AS
mengadopsi model desain pembelajaran (Branson dkk., 1975) yang dimaksudkan
untuk memandu pengembangan bahan pelatihan dalam cabang-cabang. Di akademisi,
banyak pusat peningkatan pengajaran diciptakan selama paruh pertama dekade
dengan maksud membantu penggunaan media fakultas dan prosedur desain
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pengajaran mereka (Gaff. 1975;
Gustafson & Bratton, 1984). Selain itu, program pascasarjana dalam desain
pembelajaran banyak diciptakan (Partridge & Tennyson, 1979; Redfield &
Dick, 1984;.. Silber 1982). Dalam bisnis dan industri, banyak organisasi,
melihat nilai dengan menggunakan instruksional sebagai tanda untuk meningkatkan
kualitas pelatihan, mulai mengadopsi pendekatan (lih. Mager, 197: Miles, 1983).
Dibanyak negara internasional seperti Korea Selatan. Liberia. dan Indonesia,
melihat manfaat menggunakan desain pembelajaran untuk memecahkan masalah
pembelajaran di negara-negara (Chadwick. 1986; Morgan, 1989). Bangsa ini
mendukung program-program desain pembelajaran, organisasi dibuat untuk
mendukung penggunaan desain pembelajaran, dan dukungan yang diberikan kepada individu
menginginkan pelatihan di bidang ini. Banyak dari perkembangan ini adalah
dicatat dalam Journal of Instructional Pembangunan, sebuah jurnal yang pertama
kali diterbitkan pada tahun 1970-an dan itulah cikal bakal pengembangan bagian
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pendidikan.
Tahun
1980-an: Pertumbuhan dan Pengalihan
Dalam banyak
sektor, kepentingan dalam desain pembelajaran yang selama dekade sebelumnya
terus tumbuh selama tahun 1980. Kepentingan dalam proses desain pembelajaran
tetap kuat dalam bisnis dan industri (Bowsher, 1989:. Galagan 1989). Dalam
militer (Chevalier, 1990; Finch, 1987; McCombs, 1986), dan di arena internasional
(Ely & Plomp, 1986;Morgan 1989.Berbeda dengan pengaruhnya di sektor
tersebut, selama tahun 1980, desain pembelajaran memiliki dampak minimal di
daerah lain. Dalam arena sekolah umum, upaya pengembangan kurikulum beberapa
terlibat penggunaan dasar proses desain pembelajaran (misalnya, Spady, 1988),
dan beberapa buku desain pembelajaran bagi para guru yang diproduksi (misalnya,
Dick & Reiser, 1989: Gerlach & Ely, 1980; Sullivan & Higgins,
1983). Namun, meskipun dari upaya ini, bukti menunjukkan bahwa desain
pembelajaran mengalami dampak kecil pada instruksi di sekolah negeri (Branson
& Grow, 1987; Burkman, 1987b; Rossett & Garbosky, 1987). Dalam nada
yang sama, dengan beberapa pengecualian (misalnya, Diamond, 1989), praktek
desain pembelajaran memiliki dampak minimal dalam pendidikan tinggi. Sedangkan
pusat peningkatan pengajaran di pendidikan tinggi berkembang dalam jumlah
melalui pertengahan 1970-an, pada tahun 1983 lebih dari seperempat dari
organisasi tersebut telah dibubarkan, dan ada kecenderungan penurunan umum
dalam anggaran pusat yang tersisa (Gustafson & Bratton, 1984) . Burkman
(1987a, 1987b) memberikan analisis mencerahkan satu alasan mengapa upaya desain
pembelajaran di sekolah dan universitas belum berhasil, dan kondisi ini kontras
dengan kondisi yang lebih menguntungkan yang ada di bisnis dan militer.
Selama tahun
1980, ada tumbuh bagaimana prinsip-prinsip psikologi kognitif dapat diterapkan
dalam proses desain pembelajaran, dan sejumlah publikasi menguraikan aplikasi
potensial dijelaskan (misalnya, Bonner, 1988; Divesta & Rieber, 1987;
“Wawancara dengan Robert M. Gagnc, “1982; Low, 1980). Namun, beberapa tokoh di
lapangan telah menunjukkan bahwa efek sebenarnya psikologi kognitif pada
praktek desain pembelajaran selama dekade ini agak kecil (Dick, 1987;
Gustafson, 1993).
Faktor yang
tidak memiliki efek besar pada praktek desain pembelajaran pada tahun 1980 adalah
meningkatnya minat dalam penggunaan mikrokomputer untuk tujuan pembelajaran.
Dengan munculnya perangkat ini. banyak profesional di bidang desain
pembelajaran mengalihkan perhatian mereka untuk memproduksi instruksi berbasis
komputer (Dick, 1987; Shrock, 1995). Lain membahas kebutuhan untuk
mengembangkan model baru dari desain pembelajaran untuk mengakomodasi kemampuan
interaktif teknologi ini (Merrill, Li, & Jones, 1990a, 1990b). Selain itu,
komputer mulai digunakan sebagai alat untuk mengotomatisasi beberapa tugas
desain pembelajaran (Merrill & Li. 1989).
Tahun
1990-an: Views Mengubah dan Praktek
Selama tahun
1990-an, berbagai perkembangan memiliki dampak yang signifikan terhadap
prinsip-prinsip desain pembelajaran dan praktek. Sebagaimana ditunjukkan di
atas, salah satu pengaruh utama adalah teknologi kinerja gerakan, yang
memperluas lingkup bidang desain pembelajaran. Sebagai hasil dari gerakan ini,
banyak desainer pembelajaran mulai lebih berhati-hati melakukan analisis
tentang penyebab masalah kinerja, dan seringkali menemukan bahwa pelatihan
miskin, atau kurangnya pelatihan, bukan penyebabnya. Dalam kasus seperti banyak
desainer pembelajaran membekali solusi non-instruksional, seperti perubahan
dalam sistem insentif atau dalam lingkungan kerja, untuk memecahkan masalah
tersebut (Dean, 1995).
Faktor lain
yang mempengaruhi lapangan selama 1990-an ada masukan yang tumbuh di
konstruktivisme, kumpulan pandangan yang sama terhadap pembelajaran dan
instruksi yang diperoleh meningkatnya popularitas sepanjang dekade. Itu,
prinsip-prinsip pembelajaran yang terkait dengan konstruktivisme meliputi
kebutuhan untuk (a) memecahkan masalah yang kompleks dan realistis, (b) bekerja
sama untuk memecahkan masalah tersebut, (c) memeriksa masalah dari berbagai
perspektif, (d) mengambil kepemilikan dari proses pembelajaran dan (e) menjadi
sadar akan peran mereka sendiri dalam proses konstruksi pengetahuan (Driscoll.
2 (00). Selama dekade terakhir, pandangan konstruktivis pembelajaran dan
pengajaran telah berdampak pada pikiran dan tindakan dari banyak teoretisi dan
praktisi di bidang desain pembelajaran. Sebagai contoh, penekanan pada
merancang konstruktivis “otentik:”. belajar tugas-tugas yang mencerminkan
kompleksitas dari lingkungan dunia nyata di mana peserta didik akan ia
menggunakan keterampilan yang mereka pelajari -memiliki efek pada bagaimana
desain pembelajaran yang sedang dilakukan dan diajarkan (Dick. 1996). Meskipun
beberapa berpendapat “tradisional” mengatakan bahwa praktek desain pembelajaran
dan prinsip-prinsip konstruktivis yang beberapa tahun terakhir telah banyak
menggambarkan bagaimana pertimbangan prinsip-prinsip konstruksi dapat
meningkatkan instruksional desain praktek.
Selama tahun
1990-an, pertumbuhan yang cepat dalam penggunaan dan pengembangan sistem pendukung
kinerja elektronik juga menyebabkan perubahan sakit dalam sifat pekerjaan yang
dilakukan oleh banyak desainer pembelajaran. Mendukung kinerja elektronik
sistem berbasis komputer dirancang untuk menyediakan para pekerja dengan
bantuan kebutuhan untuk tugas-tugas pekerjaan, pada saat mereka membutuhkan
bantuan itu dan dalam bentuk yang akan paling membantu. Nasihat cerdas sistem
pembinaan dan ahli yang memberikan bimbingan dalam melakukan berbagai kegiatan,
dan alat pendukung disesuaikan kinerja yang mengotomatisasi dan sangat
menyederhanakan tugas-tugas pekerjaan banyak. Dengan menyediakan pekerja dengan
kinerja alat dan informasi yang mereka butuhkan, yang dirancang dengan baik
sistem kinerja elektronik pendukung dapat mengurangi kebutuhan untuk pelatihan.
Hal ini tidak mengherankan, bahwa selama dekade terakhir, sejumlah organisasi
pelatihan dan desainer pembelajaran berubah sebagian perhatian mereka jauh dari
program-program pelatihan merancang dan menuju merancang sistem pendukung
kinerja elektronik (Rosenberg. 2001).
Prototyping
cepat telah tren memiliki efek pada praktek pembelajaran. Proses cepat
prototyping cepat melibatkan mengembangkan produk prototipe dalam tahap sangat
awal dari sebuah proyek desain pembelajaran dan kemudian akan melalui serangkaian
ujicoba yang cepat dan siklus revisi sampai versi diterima dari produk yang
dihasilkan (Gustafson & Cabang. 1997a). Teknik desain telah dianjurkan
sebagai sarana memproduksi bahan-bahan pengajaran yang berkualitas. Selama
tahun 1990-an, meningkat minat dalam prototyping cepat antara praktisi dalam
bidang desain instruksional (misalnya, Gustafson & Cabang, 1997a).
Kecenderungan
terbaru lain yang telah mempengaruhi profesi desain pembelajaran telah menjadi
perhatian meningkat pesat dalam menggunakan Internet untuk pembelajaran jarak
jauh. Sejak tahun 1995, telah terjadi peningkatan besar dalam penggunaan
Internet untuk memberikan instruksi pada jarak (Bassi & Van Buren, 1999;
Lewis, Salju, Farris, Levin, & Greene, 1999). Sebagai permintaan untuk program
pembelajaran jarak jauh telah berkembang, sehingga memiliki pengakuan bahwa
untuk menjadi efektif, program-program tersebut tidak dapat hanya menjadi
on-line replika dari instruksi disampaikan dalam ruang kelas, melainkan,
program tersebut harus hati-hati dirancang dalam terang fitur pembelajaran yang
bisa, dan tidak bisa, akan dimasukkan ke dalam Internet berbasis program
(Institut Kebijakan Pendidikan Tinggi, 2000).
Manajemen
pengetahuan adalah salah satu tren terbaru telah mempengaruhi bidang desain
pembelajaran. Menurut Rossett (1999, manajemen pengetahuan melibatkan
mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menyebarkan pengetahuan eksplisit dan
tacit dalam suatu organisasi dalam rangka meningkatkan kinerja organisasi
tersebut. Seringkali, pengetahuan yang berguna dan keahlian dalam suatu
organisasi tinggal dengan individu tertentu atau kelompok, tetapi tidak banyak
dikenal di luar kelompok atau individu. Namun, saat ini hari teknologi seperti
program database, groupware, dan intranet memungkinkan organisasi untuk
“mengelola” (yaitu, mengumpulkan, menyaring, dan menyebarkan) pengetahuan dan
keahlian dalam cara-cara yang sebelumnya tidak mungkin. Rosenberg (2001)
menjelaskan beberapa contoh tentang bagaimana atau-ganizations telah berubah
beberapa perhatian mereka jauh dari program pelatihan merancang dan untuk
menciptakan sistem manajemen pengetahuan. Rossett dan Donello (1999)
menyarankan bahwa sebagai kepentingan dalam manajemen pengetahuan terus,
tumbuh, dan pelatihan profesional lainnya akan bertanggung jawab tidak hanya
untuk meningkatkan kinerja manusia, tetapi juga untuk menemukan dan memperbaiki
akses terhadap pengetahuan organisasi yang bermanfaat. Jadi minat dalam
manajemen pengetahuan adalah mungkin untuk mengubah dan mungkin memperluas jenis
tugas desainer pembelajaran diharapkan untuk melakukan.
Kesimpulan
Sejarah perkembangan Teknologi Pembelajaran
,beberapa para ahli menyebut dan
menjelaskan perkembangannya ke
dalam beberapa masa sejarah, diantaranya: Metoda kaum Sofi, metode
Socrates,metode Aberald, metode Comenius, metode Lascartes,metode Friedrich
Herbart,dll. Perkembangan sejarah telah
menunjukkan pergeseran penggunaan teknologi dari satu jenis ke jenis lainnya. Mulai dari penggunaan media
cetak hingga pada penggunaan
audiovisual, perangkat televisi
tersebut dan komputer. Perkembangan
teknologi yang meningkat juga ikut meningkatkan minat penggunaan media- media
tersebut. Selama 25 tahun terakhir, telah terjadi peningkatan terhadap
penggunaan perangkat audiovisual dalam pendidikan (Heinich et al .. 1982).
pertumbuhan ini telah menjadi jelas khususnya selama tahun 1980 sebagai sekolah
lebih menggunakan mikrokomputer untuk tujuan instruksional (Pusat Organisasi
sosial sekolah 1983a). Namun, terlepas dari peningkatan penggunaan perangkat
audiovisual tetap harus dijawab (Clarck, 1983, Petkovich, 1984, 1985)
Pendekatan sistem telah berhasil diterapkan dalam
varietas pengaturan instruksional
(misalnya, Mager, 1977; Markle, 1977, Shoemarker, 1976:. Witherell et al,
1981), dan tampaknya akan mendapatkan penerimaan yang lebih luas, terutama di
organisasi pelatihan (misalnya , Miles, 1983). Namun demikian, di Amerika
Serikat sulit untuk menemukan deskripsi dari situasi di mana pendekatan sistem
telah berhasil digunakan untuk memecahkan masalah pendidikan masyarakat. Individual
instruksional, seperti komputer, membantu
instruksi, sistem personalisasi pembelajaran, dan pembelajaran untuk pendekatan
penguasaan, sedang banyak digunakan dalam pengaturan instruksional. Teknologi instruksional
didefinisikan sebagai perangkat audiovisual, pendekatan sistem, petunjuk individual,
atau beberapa kombinasi dari konsep, memiliki beberapa dampak di lapangan.
Dalam
bahasan ini dipisahkan antara sejarah media pembelajaran dan sejarah desain
pembelajaran, ada perbedaan dalam kedua bidang tersebut. Banyak solusi
pembelajaran melalui penggunaan proses desain pembelajaran memerlukan kerja
media pembelajaran. Selain itu, banyak individu (misalnya, Clark, 1994; Kozma,
1994; Morrison, 1994; Reiser, 1994; Shrock, 1994) berpendapat bahwa penggunaan
media yang efektif untuk tujuan pembelajaran membutuhkan perencanaan
pembelajaran, seperti yang ditentukan oleh model desain pembelajaran. Di bidang
desain pembelajaran dan teknologi, mereka yang bekerja dipengaruhi oleh
pelajaran dari sejarah media dan sejarah desain pembelajaran akan posisi yang
baik untuk memiliki pengaruh positif pada perkembangan masa depan dalam
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Raiser Robert A. 2002. Trends and Issues in Instructional Design
and Technology. New
Jersey: Leasson
Education ,inc.
Dimyati, M. Moh. 2000. Akulturasi Teknologi Pendidikan dalam
Masyarakat Indonesia Transisional. Malang: C.V. Wineka Media.
Sudjana Nana dan Rivai Ahmad.1997.Teknologi Pembelajaran. Bandung: Sinar
Baru.
Anglin,Gary J. 1991. Instructional Technology: Past, Present, and
Future .Colorado.
Libraries
unlimited.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar